Indonesia
merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.480 pulau yang terdiri
dari sejumlah pulau besar dan lebih dari 1.000 pulau-pulau kecil yang tersebar
dari Sabang sampai Merauke. Adapun wilayah laut teritorial seluas 5,8 juta km2
atau sebesar 63% dari total wilayah teritorial Indonesia, dengan luas Zona
Ekonomi Eksklusif 2,7 juta km2 dan garis pantai sepanjang 95.181 km (Numberi,
2009). Hal-hal tersebut menjadikan wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi
sumberdaya alam yang tinggi seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs)
dan padang lamun (sea grass beds). Menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir
adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan di laut, menurut Supriharyono (2007) wilayah ini sangat
produktif dengan keberadaan estuaria, hutan bakau, padang lamun serta terumbu
karang, sehingga sedemikian panjangnya pantai Indonesia merupakan potensi
sumberdaya alam yang besar untuk pembangunan ekonomi.
Keanekaragaman
sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir, mengakibatkan wilayah ini
umumnya merupakan pemusatan berbagai kegiatan pembangunan seperti pemukiman,
pertambakan, tempat rekreasi, sarana penghubung dan sebagainya. Terdapat
sebanyak 60% penduduk Indonesia diperkirakan tinggal dan hidup di wilayah
pesisir (Supriharyono, 2002). Sejalan dengan pertambahan penduduk di Indonesia
yaitu sebanyak 237.556.363 jiwa (BPS, 2010), tentunya memberikan tekanan yang
besar kepada wilayah ini khususnya akibat aktivitas manusia.
Dalam
suatu wilayah pesisir suatu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumber
daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami atau pun buatan (man-made).
Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah : terumbu
karang, hutan mangroves, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea,
formasi bringtonia, estuari, laguna dan delta.
Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa : tambak, sawah pasang
surut, kawasan parawisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan
pemukiman.
Sumber
daya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih dan
tidak dapat pulih, sumber daya yang dapat pulih antara lain, meliputi sumber
daya perikanan (planton, benthos, ikan, moluska, krustasea, mamalia laut),
rumput laut (seaweed), padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang.
Sedangkan sumberdaya yang tidak dapat pulih antara lain, mencakup: minyak dan
gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya.
Dalam
hal tersebut terkait pemanfaatan sumberdaya yang ada di pesisir serta berbagai
aktivitas-aktivitas yang berlangsung diwilayah pesisir maka perlu adanya
pengelolaan secara terpadu. Perencanaan secara terpadu dimaksudkan untuk
mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor
dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah
pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu dimaksudkan sebagai suatu upaya secara
terpogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan
antara kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat dan
pembangunan ekonomi.
Pengelolaan
wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah
pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan
pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated)
guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berlanjutan. Dalam konteks
ini, keterpaduan (integration)
mengadung tiga dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.
Untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan perlu
dilakukan penataan kawasan sesuai dengan kondisi sumberdaya alam, pola
pemanfaatan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan (carrying capacity).
Upaya penataan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan
tata ruang untuk keseluruhan wilayah. Pengelolaan lingkungan wilayah pesisir,
laut dan pulau-pulau kecil harus dirancang secara rasional dan bertanggungjawab
sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan
lingkungan kawasan pesisir bagi pembangunan yang berkelanjutan.
Ditinjau dari sudut pandang pembangunan
berkelanjutan dan status indonesia sebagai negara berkembang, PWPLT dalam
konteks Indonesia sesungguhnya berada di persimpangan jalan. Indonesia masih
memiliki banyak kawasan pesisir dan lautan dengan potensi pembangunan yang
sangat besa, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Kondisi terutama
dijumpai di kawasan timur Indonesia pembangunan. Berdasarkan karakteristik dan
dinamika (the nature) dari kawasan
pesisir dan lautan, potensi dan permasalahan, maka pencapaian pembangunan
kawasan pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan tampaknya hanya
dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (PWPLT). Hal
ini paling tidak berdasarkan pada empat alasan pokok :
1.
Secara empiris terdapat keterkaitan
ekologis (hubungan fungsional), baik antaraekosistem di dalam kawasan pesisir
maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.
2.
Dalam suatu kawasan pesisir, pada
umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki
keterampilan/keahlian dan kesenangan (preference)
bekerja yang berbeda, sebagai petani tambak, petani rumput laut, pendamping
parawisata, industri dan kerajinan rumah tangga dan sebagainya.
3.
Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya
terdapat lebih dari dua macam sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang
dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.
4.
Baik secara ekologis maupun ekonomis,
pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (singel use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun
eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha.
Keunggulan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT)
Beberapa keunggulan (kelebihan atau
manfaat) PWPLT jika dibandingkan dengan pendekatan secara sektoral (IPPC, 1994)
1.
PWPLT memberikan kesempatan kepada
masyarakat pesisir untuk membangun sumber daya pesisir sacare berkesinambungan.
Hanya pendekatan pengelolaan secara terpadu yang dapat mengatasi konflik
pemanfaatan ruang dan sumber daya alam yang biasanya terjadi di kawasan
pesisir.
2.
PWPLT memungkinkan untuk memasukan
pertimbangan tentang kebutuhan serta aspirasi masyarakat terhadap sumber daya
alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan lautan baik sekarang maupun
yang akan datang, PWPLT dapat meminimalkan dampak negatif terhadap ekosistem
pesisir dan lautan.
3.
PWPLT menyediakan kerangka (framework) yang dapat merespon segenap
fluktuasi maupun ketidak-menentuan yang merupakan ciri khas dari ekosistem
pesisir dan lautan
4.
PWPLTmembantu pemerintah daerah maupun
pusat dengan suatu proses yang dapat menumbuhkembangkan pembangunan ekonomi serta
peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
5.
Meskipun PWPLT memerlukan pengumpulan
dan analisis data serta proses perencanaan yang lebih panjang dari pada
pendekatan sektoral, tetapi secara keseluruhan akhirnya PWPLT lebih murah
ketimbang pendekatan secara sektoral.
Permasalahan dan konflik diwilayah pesisir
Dalam
perencanaan pengembang-an wilayah sering terlebih dahulu dlakukan delineasi
wilayah (region) yang didalamnya terdapat kegiatan untuk menentukan batas-batas
wilayah. Penentuan batas wilayah dengan memperhatikan terhadap konsep wilayah.
Dalam kaitan ini, konsep wilayah lebih menekankan “wilayah” sebagai suatu alat
(means) untuk suatu tujuan dibandingkan dengan tujuannya sendiri. Sebagai suatu
konsep, dapat ditunjukkan dengan mengambil contoh konsep wilayah yang telah
digunakan sebagai suatu metode klasifikasi melalui dua fase yang berbeda, yaitu
dari fase yang merefleksikan kemajuan ekonomi dari suatu ekonomi agraris yang
sederhana menuju suatu sistem perindustrian yang kompleks. Fase pertama memperlihatkan
wilayah formal (menyangkut uniformitas, dan didefinisikan melalui homogenitas),
sementara fase kedua menunjukkan perkembangannya sebagai wilayah
fungsional (menyangkut interdependen, interrelationship dan didefinisikan
berdasarkan hubungan internasional)
Wilayah
pantai/pesisir mempunyai karakter yang spesifik. Wilayah ini merupakan agregasi
dari berbagai komponen ekologi dan fisik yang saling terkait dan saling
mempengaruhi, serta secara ekologis sangat rapuh. Sebagaimana telah disinggung
di depan bahwa pembangunan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan
prinsip-prinsip ekologi akan sangat mudah merusak proses atau berfungsinya
ekosistem pantai.
Suatu
ekosistem pantai adalah komposisi dari berbagai komponen (komponen ekologi dan
biologi, serta lingkungan fisik pantai) serta interaksinya. Komponen ekologi
dan biologi dari ekosistem pantai termasuk spesi binatang, tumbuhan dan
organisme. Setiap spesi mempunyai peranan fungsi yang unik di dalam ekosistem
pantai dan mempunyai habitat tertentu. Lingkungan fisik pantai meliputi
perairan pantai, muara sungai, karang pantai. Interaksi antar komponen dari
ekosistem pantai terjadi melalui pertukaran energi dan zat, yang dimulai dengan
konservasi cahaya matahari, nutrien dasar, karbon dioksida dan mineral oleh
tumbuhan (primary produsers) menjadi jaringan
tumbuh-tumbuhan (plant tissues) yang merupakan bahan dasar
makanan untuk binatang.
Beberapa
komponen dari ekosistem pantai berfungsi sebagai unit yang menyimpan “energy supply”. Cadangan energi berfungsi menstabilisasikan ekosistem dan
sebagai “buffer” terhadap kebutuhan energi yang besar yang terjadi pada musim
atau periode waktu tertentu. Kombinasi dari masuknya air tawar ke perairan
pantai, angin, ombak laut, temperatur, kekeruhan sangat mempengaruhi
berfungsinya proses ekosistem pantai. Perubahan yang menonjol pada komponen dan
rantai interaksi utama ekosistem pantai, terutama diakibatkan oleh proses
pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam pantai, dapat mengakibatkan
terganggunya proses dan integritas ekosistem yang selanjutnya menimbulkan
degradasi lingkungan yang mengakibatkan kerugian pada masyarakat di wilayah pantai.
Tekanan
yang keras dari proses pembangunan di wilayah pantai akan berakibat pada
gangguan atau dampak yang merusak pada fungsi dan integritas dari ekosistem
pantai. Akibat yang timbul adalah degradasi lingkungan dan menurunnya tingkat
kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Upaya yang efektif untuk
meminimalkan dampak negatif pembangunan ekonomi dan intergritas ekosistem
pantai adalah menekankan usaha konservasi sumber daya alam pantai untuk
menunjang pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan. Namun di dalam
prakteknya, pendekatan pengelolaan tersebut tidak sepenuhnya fleksibel secara
politis dan sukar dilaksanakan. Manfaat jangka pendek dari pembangunan ekonomi
dan penggunaan sumber daya alam, pada kenyataannya, dibutuhkan di dalam pengembangan
ekonomi dan perbaikan kondisi sosial masyarakat pantai. Dengan demikian
pertimbangan-pertimbangan praktis dari berbagai pandangan harus diupayakan
untuk menyeleraskan kepentingan yang berorientasi jangka pendek dan jangka
panjang.
Adanya
kecenderungan yang nyata dari konflik antara pengguna/pemakai sumber daya alam
pantai, pada prinsipnya karena masalah eksternalitas dan overuses. Masalah
ekseternalitas adalah dampak yang terjadi pada pihak ketiga diluar proses
transaksi ekonomi. Upaya untuk menginternalkan tersebut dapat dilakukan melalui
biaya sosial (sosial cost) kedalam proses produksi (caranya dapat
bermacam-macam, effluent charges, bargaining-negosiasi antar pihak ketiga
dengan pihak pencemar lingkungan). Overuses terjadi karena setiap “user”
berusaha memaksimalkan pengguna/ pemakai sumber daya alam. Konflik akibat
eksternalitas dan overuses apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan
menimbulkan menurunnya kualitas lingkungan. Konflik inipun akan menimbulkan
golongan lemah akan semakin menderita dan selanjutnya tergusur dari wilayah
pantai Problem dan konflik yang cenderung terjadi akibat adanya “multiple
management entities” adalah fragmentasi di dalam pengambilan keputusan,
duplikasi/overlapping kewenangan/yuridiksi adalah tidak efektif dan tidak
efisien. Agar menjadi efektif dan efisien, maka problem tersebut harus
dipecahkan. Konflik kadang mempunyai dampak positif di dalam merangsang
kreatifitas pemecahan masalah di dalam managemen publik. Namun konflik
kewenangan dan kepentingan yang berkepanjangan akan menghambat pencapaian
tujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan wilayah dan ekosistem pantai.
Seperti
halnya dikabupaten Indramayu dimana kegiatan manusia menjadi faktor penting
terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove. Tindakan manusia seperti membuka
lahan tambak yang melampaui batas daya dukung, maupun memanfaatkan tanaman
mangrove secara berlebih tanpa melakukan rehabilitas akan menyebabkan
terjadinya degradasi ekosistem mangrove. Pola pemanfaatan lahan yang tidak ramah
lingkungan juga akan mengancam keberadaan ekosistem hutan mangrove. Demikian
pula pola pembangunan yang dijalankan di daerah akan mempengaruhi kelestarian
sumberdaya hutan mangrove. Pada saat ini ada indikasi bahwa kerusakan ekosistem
hutan mangrove dan ancaman kepunahan spesies mangrove di wilayah pesisir
Kabupaten Indramayu semakin meningkat. Faktor penyebab kerusakan dan akar
masalahnya cukup kompleks. Namun inti dari semua permasalahan degradasi hutan
mangrove itu pada hakekatnya bersumber pada manusia berserta perilakunya dalam
hal ini adalah masyarakat yang ada disekitarnya.
Dalam
konteks sistem ekologi, wilayah pesisir dan laut memeliki produktivitas tinggi.
Masalah yang biasa terjadi dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut
berkaitan erat dengan perilaku masyarakat pengguna sumber daya ini hampir
selalu dilandasi oleh kerangka pikir “open
access”. Lebih lanjut, karena dalam kerangka pikir open access tidak memiliki arti kepimilikan sama sekal, pemanfaatan
sumber daya pesisir cenderung untuk menjadi berlebih. Kerangka pikir open access ini menyebabkan tidak
seimbangnya laju pemanfaatan dan laju pemulihan sumber daya tersebut. Dengan
demikian dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan
diperlukan upaya terpadu yang memperhatikan daya dukung lingkungan.
Untuk
diketahui, aktivitas-aktivitas manusia, dalam rangka memanfaatkan sumberdaya
alam, didaerah pantai banyak yang menggunakan alat tangkap yang kurang ramah
lingkungan, seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun (KCN).
Penangkapan ini biasanya dilakukan didaerah karang. Selain membunuh ikan-ikan
sasaran, praktek penangkapan dengan cara ini juga merusak ekosistem sumberdaya
terumbu karang. Disamping itu, masih banyak praktek-praktek lain yang menyokong
semakin rusak terumbu karang, misalnya pengambilan karang, baik yang mati
(untuk bahan bangunan) maupun yang hidup (untuk hiasan aquarium) dan aktivitas
lainnya baik yang ada didaratan maupun dilaut, seperti penggundulan hutan,
industrialisasi, pelabuhan, pertambangan, pelayaran dan parawisata dapat
membahayakan ekosistem wilayah pesisir.
Pendekatan Perencanaan Pengembangan Pesisir
Banyak yang berpendapat bahwa
pengelolaan wilayah pantai secara terpadu (Intergrated
Coastal Zone Management) merupakan kunci bagi pemecahan problem dan konflik
di wilayah pantai yang sangat pelik dan kompleks. Keterpaduan di dalam
manajemen publik dapat didefinisikan sebagai penentuan goals dan objektif
secara simultan, melakukan secara bersama-sama pengumpulan informasi,
perencanaan dan analisis secara kolektif, penggunaan secara bersama-sama
perangkat/ instrumen pengelolaan. Pada kenyataannya, integrasi yang bersifat
ideal sebagaimana dikemukakan di atas tidak pernah akan dapat terjadi atau
dilakukan. Di dalam praktek integritasi ini biasanya merupakan upaya koordinasi
antara berbagai enstitusi/lembaga terkait untuk menyelaraskan berbagai
kepentingan, prioritas dan tindakan. Usaha untuk melakukan koordinasi ini dapat
dilakukan dengan menggunakan mekanisme, prosedur dan rencana. Dengan demikian,
rencana wilayah pantai terpadu disamping berfungsi sebagai arahan bagi
pengembangan, strategi yang dilakukan dan tindakan yang akan dilaksanakan, juga
berfungsi sebagai instrumen koordinasi.
Konsepsi
pengembangan wilayah dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan dan selalu
terdapat isue-isue yang lebih menonjol tergantung dari kondisi wilayah pesisir
bersangkutan. Pendekatan-pendekatan ini meliputi : (1) pendekatan ekologis; (2)
pendekatan fungsional/ ekonomi; (3) pendekatan sosio-politik; (4) pendekatan
behavioral dan kultural. Pendekatan ekologis menekankan pada tinjauan ruang
wilayah sebagai kesatuan ekosistem. Pendekatan ini sangat efektif untuk
mengkaji dampak suatu pembangunan secara ekologis, akan tetapi kecenderungan
mengesampingkan dimensi sosial, ekonomis dan politis dari ruang wilayah.
Pendekatan fungsional ekonomi, menekankan pada ruang wilayah sebagai wadah
fungsional berbagai kegiatan, dimana faktor jarak atau lokasi menjadi penting.
Pendekatan sosial politis, menekankan pada aspek “penguasaan” wilayah.
Pendekatan ini melihat wilayah tidak saja dilihat dari berbagai sarana produksi
namun juga sebagai sarana untuk mengakumulasikan power. Konflik-konflik yang
terjadi dilihat sebagai konflik yang terjadi antar kelompok. Pendekatan ini
juga melihat wilayah sebagai teritorial, yakni mengaitkan ruang-ruang bagian
wilayah tertentu dengan satuan-satuan organisasi tertentu. Pendekatan
behavioral dan kultural, menekankan pada keterkaitan antara wilayah dengan
manusia dan masyarakat yang menghuni atau memanfaatkan ruang wilayah tersebut.
Pendekatan ini menekankan perlunya memahami perilaku manusia dan masyarakat
dalam pengembangan wilayah. Pendekatan ini melihat aspek-aspek norma, kultur,
psikologi masyarakat yang berbeda akan menghasilkan konsepsi wilayah yang
berbeda.
Disamping
pendekatan-pendekatan yang bersifat substansial seperti diatas, terdapat
beberapa pendekatan yang bersifat instrumental. Pendekatan instrumental ini
dapat dikategorikan dalam 4 (empat) kelompok besar, yaitu (1) instrumen hukum
dan peraturan; (2) instrumen ekonomi; (3) instrumen program dan proyek; dan (4)
instumen alternatif.
Instrumen
hukum dan peraturan mempunyai konsep atau ide dasar adanya hukum dan peraturan
beserta penegakannya. Instrumen ini antara lain berupa hukum dan
peraturan-peraturan seperti ijin lokasi, ijin bangunan, AMDAL dan sebagainya.
Instrumen ekonomi mempunyai konsep atau ide dasar adanya pengaruh ekonomi pasar
yang sangat signifikan terhadap pengembangan wilayah. Contoh dari penerapan
instrumen ini adalah adanya penerapan pajak, retribusi serta insentif dan
disinsentif yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Instrumen program dan proyek
khususnya yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah didasari atas konsep atau
ide dasar pada kebutuhan-kebutuhan dasar dan kepentingan masyarakat luas.
Penerapan instrumen ini seperti pembangunan sarana dan prasarana wilayah dan
sejenisnya. Instrumen alternatif berdasarkan konsep atau ide dasar adanya
pemberdayaan masyarakat dari kemitraan. Contoh-contoh dari penerapan instrumen
ini antara lain meliputi pelatihan, pendidikan, partisipasi masyarakat, adanya
proyek-proyek percontohan, penghargaaan kepada pelaku masyarakat dan swasta
atau pelaku pembangunan lainnya.
Proses Perencanaan
Proses dan
langkah-langkah ini secara sederhana dapat diperlihatkan sebagai Proses
Perencanaan – Implementasi – Evaluasi Kawasan Pesisir Pantai. Penyusunan
rencana, pada umunya dirangsang oleh adanya problem dan konflik yang kritis
diwilayah pantai. Hal ini menimbulkan kesadaran akan perlunya perencanaan
wilayah pantai terpadu. Keadaan ini, dilanjutkan dengan inisiatif dari pihak
pemerintah daerah maupun pusat untuk melakukan persiapan penyusunan rencana.
Proses perencanaan ini bersifat iteratif dan memungkinkan adanya umpan balik
ganda (multiple feedback).
Proses dan
langkah-langkah dasar dalam perencanaan dapat ditunjukkan seperti gambar
dibawah yang terdiri dari 6 langkah yaitu: definisi problem,
menetapkan kriteria evaluasi, identifikasi alternatif-alternatif, evaluasi
alternatif-alternatif, pembandingan alternatif-alternatif, dan penilaian
out-come. Hal yang demikian adalah merupakan langkah-langkah umum dalam proses,
dan tiap langkah dapat dijabarkan ke dalam komponen yang lebih detail. Perlu
diketahui bahwa dalam perencanaan, para perencana boleh jadi menggunakan
bermacam jalur, dikarena-kan perbedaan dalam training, waktu yang tersedia
untuk analisis, kompleksitas problem, sumber-daya yang tersedia, dan afiliasi organisasional.
Langkah
pertama (mendefinisikan problem) adalah usaha
mengetahui posisi-posisi dan pengaruh dari berbagai individu-individu dan
kelompok-kelompok. Sehingga seorang perencana mesti bertanya. Siapa yang
berkepentingan terhadap problem? Mengapa? Apa saja persoalan mereka? Kekuasaan
apa yang dipunyai untuk mempengaruhi keputusan kebijakan?
Tantangan
dalam langkah ini adalah menyatakan problem dengan penuh makna, menghilangkan
materi-materi yang tidak relevan, menyatakannya dengan angka-angka, berfokus
pada sentral. Faktor-faktor yang kritis, dan mendefinisikan problem dengan cara
menghilangkan hal-hal yang bersifat ambigius. Setelah usaha ini, akan diketahui
apakah terdapat problem yang dapat diselesaikan, apakah mampu untuk
mengembangkan problem dengan statemen yang detail, dan apakah mampu untuk
mengestimasi waktu dan sumberdaya bagi analisis yang diperlukan
Langkah
kedua (penetapan kriteria evaluasi), perlu
diketahui kapan suatu problem diselesaikan atau kapan kebijakan yang tepat atau
yang bersifat dapat diterima diidentifikasi? Bagaimana kebijakan-kebijakan yang
mungkin ada akan diperbandingkan? Apakah kebijakkan yang diusulkan akan
mempunyai bermacam dampak dan mempengaruhi kelompok-kelompok yang berbeda?
Kebijakan-kebijakan akan diterima oleh kelompok satu, akan tetapi kemungkinan
ditolak oleh kelompok lain, atau malah membahayakan kepada kelompok lain.
Langkah
ketiga (identifikasi kebijak-an alternatif)
dalam proses, perencana harus mengetahui nilai-nilai, tujuan, dan
sasaran-sasaran yang tidak saja bagi pihak-pihak tertentu, namun juga kepada
seluruh pihak yang terlibat. Identifikasi terhadap kriteria adalah digunakan
untuk pertimbangan alternatif-alternatif dan membantu untuk membuat kebijakan
alternatif.
Langkah
keempat (evaluasi kebijak-an-kebijakan
alternatif) dalam proses adalah evaluasi kebijakan alternatif dan paket-paket
kebijakan ke dalam strategi dan program. Apa saja dampak-dampak yang diharapkan
dari masing-masing kebijakan? Seberapa jauh masing-masing kebijakan memenuhi
kriteria evaluasi? Kegiatan evaluasi ini dapat mengungkap alternatif-alternatif
yang memenuhi sebagian besar atau seluruh kriteria umum, dan dapat pula
mengungkap hal-hal lain yang dapat dibuang dengan sedikit analisis tambahan.
Beberapa alternatif butuh eksaminasi lebih lanjut. Data tambahan mungkin harus
dikumpulkan. Selama tahap ini adalah merupakan hal penting bagi seorang
analisis untuk memeriksa perbedaan antara kelayakan ekonomi atau kelayakan teknis
dengan alternatif yang acceptable secara politis. Formulasi kebijakan – desain
dan evaluasi alternatif atau pilihan kebijakan – dimaksudkan pada pendefinisian
problem secara tepat dan menemukan solusi-solusi yang layak dan efektif. Apakah
solusi-solusi ini dapat diimplementasikan adalah merupakan pertanyaan politis
esensial.
Kegiatan
pengelolaan, manfaat dan dampaknya
1.
Rencana pengelolaan perikanan dan partispasi masyarakat.
Aktivitas penyusunan rencana
pengelolaan perikanan pantai (management plant) didahului dengan elaborasi data
base tentang kondisi sumberdaya ikan dan habitat (ekologi) melalui suatu kajian
tentang Resource Ecological Assessment (REA), serta kondisi sosial ekonomi
masyarakat melalui kajian Socioeconomic Assessment (SEA). Kajian REA memberikan
informasi tentang tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan utamanya jenis ekonomis
penting, kondisi habitat ikan dan utamanya jenis ekonomis penting, kondisi
habitat ikan dan issu/permasalahan yang terjadi dalam konteks pemanfaatan
sumberdaya ikan. Selanjutnya SEA memberikan informasi tentang tingkat
pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan keluarganya.
Informasi yang
terangkum dalam REA selanjutnya dipergunaakan untuk menyusun Rencana Perikanan
Pantai (Management Plan) yang bersifat umum dan rangkain Rencana Aksi (Action
Plan) yang merupakan rangkaian rencana aksi. Rencana ini disusun berdasarkan
prioritas issu (issu spesifik) di masing-masing lokasi proyek yang perlu
mendapat pengelolaan segera.
Issu spesifik merupakan
rangkaian masalah dalam bidang pengelolaan sumberdaya perikanan pantai. Dari
hasil kegiatan diperoleh tentang sulitnya penegakan hukum positip untuk
mengatasi masalah tersebut, mengingat lokasi kejadian berada dilaut. Misalnya
konflik antara nelayan rawai dan nelayan gillnet dasar di Bengkalis telah
berlangsung menahun tanpa adanya indikasi penyelesaian yang jelas dan dapat
diterima oleh kedua berlah pihak. Demikan pulanya halnya dengan kegiatan
penangkapan ikan dengan bahan peledak dan atau racun telah berlangsung cukup
lama dan telah menghancurkan terumbu karang serta keanekaragamannya. Oleh
karenanya penyusunan rencana aksi (action plan) bertumpu pada masalah yang
dihadapi bersama menjadi sangat penting dan kalau tidak maka hal tersebut akan
mengancam masa depan nelayan dan keluarganya.
Disadari bahwa syarat
dasar rencana aksi yang baik adalah diterima oleh unsur stakeholder dan dapat
dilaksanakan, sehingga aktivitas analisa stakeholder dilakukan secara simultan
dengan penyusunan rencana aksi. Analisa stakeholder dimaksud untuk mengetahui
pihak yang terkait dengan masalah pengelolaan perikanan pantai, dan mengajak
mereka untuk berpartisipasi aktif menyusun strategi pemecahan masalah demi
kepentingan bersama dalam jangka panjang.
Aktivitas analisa
stakeholder telah berhasil membentuk organisasi masyarakat berupa Pengelola
Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas di Tegal, bayuwangi yang cukup dikenal
dengan nama PSBK. Dari sisi kepentingan pemerintah telah dibentuk Komite
Penasehat Perikanan Kabupaten/Kota (KPPK). Untuk mengkristalisasi keterwakilan
masyarakat dalam kelompok tersebut tersebut, maka sebelum pengesahan
pembentukannya, dilakukan validasi secara bertahap oleh Lembaga Swadaya
Masyarakat dan telah berhasil disepakati dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan
Pantai (Management Plan) yang memuat daftar issu yang perlu dikelola, dan
dokumen Rencana Aksi (Action Plan) yang merupakan rencana tidak lanjut
pemecahan issu prioritas dalam prioritas dalam kerangka pengelolaan sumberdaya
perikanan pantai secara berkelanjutan.
1.
Resolusi
Konflik dan Penghentian Penangkapan Ikan yang Merusak
Rencana aksi mengenai
resolusi konflik memuat kesepakatan para pihak yang terlibat dalam konflik.
Kesepakatan tersebut dibangun melalui proses konsultasi dan negoisasi yang
dilakukan secara dengan para pihak, difasilitasi oleh lembaga Swadaya
Masyarakat, dihadiri oleh pihak keamanan (TNI-AL, Polri), tokoh masyarakat,
PSBK, KKPK serta Dinas Perikanan Propinsi Propinsi dan Kabupaten/Kota.
Kesepakatan tersebut memuat hal-hal yang boleh
dan tidak boleh dilakukan oleh para pihak, termaksud rincian sangsi. Misalnya
di Bengkalis terdapat kesepakatan pembagian daerah penangkapan yakni rawai
dasar beroperasi di perairan 0-12 mil, sedangkan jaring batu hanya dapat
beroperasi di perairan > 6 mil. Untuk menghindari terbelitnya rawai dasar
pada jaring batu diperairan > 6 mil, maka nelayan rawai dasar mempunyai
kewajiban melakukan pengamatan secara cermat, sebelum melakukan setting alat
tangkap.
Implementasi dan
penegakan kesepakatan tersebut di tingkat lapangan bertumpu pada komitmen
nelayan (para pihak). Bilamana terdapat
indikasi pelanggaran oleh nelayan, maka pihak saksi (pihak yang melihat) hanya
boleh mencatat identitas dan ciri-ciri kapal dan selanjutnya dilaporkan kepada
PSBK untuk proses penyelesaian lebih lanjut. Untuk menghindari konflik fisik
dilaut maka pihak saksi tidak diperkenankan melakukan tindakan fisik berupa
pelanggaran atau pencegahan atau tindakan fisik lainnya. Dengan mekanisme
tersebut, ternyata frekwensi konflik baik di Bengkalis maupun Tegal menurun
secara signifikan bahkan ditenggarai issu konflik telah dapat diselesaikan oleh
nelayan secara mandiri tanpa melibatkan pihak lain.
Kondisi demikian
membawa dampak positip bagi kehidupan nelayan dan keluarganya berupa hilangnnya
rasa takut pada saat mencari nafkah kehidupan (menangkap ikan), sehingga
operasi penangkapan ikan tidak lagi harus dilakukan secara berkelompok. Rasa
aman saat menangkap ikan juga berpengaruh terhadap jumlah dan kwalitas hasil
tangkapan.
Dampak lain yang juga
dirasakan yaitu berupa terjadinya perbaikan kondisi lingkungan perairan. Hal
ini dibuktikan dengan berkembangbiaknya kembali benih lobster dan rumput laut
secara alami di Teluk Ekas (Lombok Timur), sedangkan di Banyuwangi ditemukannya
kembali ikan lemuru yang telah lama hilang dari teluk Pampang.
2.
Fish
Sanctuary dan Terumbu Karang Buatan
Ikan adalah sumberdaya
yang dapat diperbaharui (renewable resource) baik secara alami maupun dengan
rekayasa teknologi. Ikan tidak mampu menciptakan ruang dan waktu tersebut
sekalipun hanya untuk mempertahankan hidupnya, tapi selalu tergantung pada
kondisi ekosistem pada suatu kawasan uang sangat tergantung pada aktivitas
manusia. Fish Sanctuary adalah suatu ruang atau kawasan habitat ikan yang
disepakati untuk dilindungi bersama, sehingga kawasan ini dapat menopang
kelestarian keanekaragaman hayati. Dalam hal penentuan lokasi fish sanctuary,
identifikasi dilakukan secara akademis oleh para pakar perikanan termaksud
kajian praktis dengan memadukan parameter ilmiah dan pengalaman nelayan serta advokasi
Lembaga Swadaya Masyarakat. Proses ini memerlukan enerji dan waktu yang cukup
signifikan mengingat hetergensi latar belakang berbagai pihak yang harus diajak
berdiskusi dan bersepakat.
Fish sanctuary
dideskripsikan denga baik dan jelas antara meliputi :
·
Fungsi dan manfaat
·
Luasan dan batas-batas serta tanda
(marking)
·
Gugus tugas uyang bersedia secara
sukarela mengamati dan melindungi kawasan tersebut
·
Hal-hal yang dapat dan tidak dilakukan
·
Monitoring dan Evaluasi
·
Rencana aksi pemulihan kenakeragaman hayati
pada kawasan tersebut.
Rencana aksi pemulihan keanekaragaman
hayati di kawsan tersebut dimulai denga terhabilitas terumbu karang yang
berfungsi sebagai rumah ikan, mengingat tanpa rumahayang nyaman akan sulit
rasanya ikan dapat berkembang biak dengan baik. Konstruksi terumbu karang
buatan (TKB) terdiri dari beton reef ball berbentuk prisma. Dampak dari pembangunan terumbu karang buatan
telah menghasilkan peningkatan keanekaragaman hayati.
1.4.
Rehabilitas dan Pengelolaan Hutan Bakau
Mangrove atau bakau
adalah tumbuhan yang hidup antara daratan dan lautan di sepanjang pantai.
Secara ekologis, hutan bakau berfungsi sebagai daerah pembesaran (nursery
ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Oleh
karenanya, fungsi hutan bakau dalam memelihara kestabilan ekosistem pada suatu
kawasan sangatlah penting, dan oleh karenanya pengelolaan hutan bakau perlu
dilakukan secara baik agar dapat menopang kehidupan nelayan dan keluarganya.
Ironisnya penebangan
hutan bakau berjalan tanpa aturan, seolah-olah tanaman tersebut tidak
bermanfaat untuk kestabilan ekosistem yang sangat penting untuk kenyamanan
hidup manusia. Tidak heran kalau di beberapa daerah telah terjadi abrasi sangat
menghawatirkan seperti di Meskom, Muntai dan Pampang (Bengkalis) abrasi 5-10
meter pertahun. Hal ini telah menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi
masyarakat karena banyak rumah mereka yang telah hilang serta lahan usaha
berupa tambak hilang ditelan abrasi.
Untuk memantapkan
keberhasilan rehabilitas hutan bakau, tahapan kegiatan dilakukan dengan
mengadopsi kaidah pendekatan partisipatif. Pengkajian dimulai dengan kegiatan
indentifikasi kawasan bakau yang dilakukan bersama pihak Lembaga Swadaya
Masyarakat. Hasil kajian disajikan dalam bentuk kawasan bakau yang dilakukan
bersama pihak Lembaga Swadaya Masyarakat.
Hasil
kajian disajikan dalam bentuk pemetaan kondisi dalam bentuk pemetaan kondisi
kawasan hutan bakau dengan klasifikasi baik, sedang dan rusak serta perlu
segera mendapat penanganan. Pemetaan ini mencakup luas dan jenis bakau
yang direkomendasikan untuk ditanam
kembali. Selanjutnya hasil pemetaan ini diserahkan kepada instansi terkait melalui pemerintah
daerah kabupaten/kota dan PSBK sebagai perwakilan masyarakat. Sebelum aksi
tanam bakau dilaksanakan masyarakat diajak untuk membangun kesepakatan tertulis
tentang perlindungan hutan bakau.
Aktivitas
rehabilitas hutan bakau ini telah menunjukan indikasi dampak positip berupa
kembalinya kawanan burung laut ke kawasan bakau dan meningkatnya hasil tangkapan
sero menjadi 8-10 kg/hari (bayuwangi). Di pihak lain, pemerintah daerah juga
memberikan respon positip dalam bentuk menjadikan penanaman bakau sebagai salah
satu issu pembangunan daerah, bahkan di Tegal telah dilaksanakan penanaman
hutan bakau.
Daftar Pustaka
Basuki
dan Djunaedi. 2002. Perencanaan
Pengembangan Kawasan Pesisir. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol 3, No 3,
September 2002: 225-231
Dahuri,
Rokhmin. dkk. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara
Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Gumilar,Iwang.
2012. Partisipasi Masyarakat Pesisir Dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan
Mangrove Berkelanjutan Di Kabupaten Indramayu. Jurnal Akuatika Vol III No
2/September 2012 (198-211) ISSN 0853-2523
Rais, Jakub, dkk. 1987. Menata Ruang Laut Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. 69-70p
Riyadi. 2008. Kebijakan
Wilayah Pembangunan Pesisir Sebagai Alternatif Pembangunan Indoensia Masa Depan.
http:www.bappenas.go.id/get-file-server/node/3007/
Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberday Hayati. Pustaka pelajar. Yogyakarta.
228-229p
Sularso, Aji. dkk. 2003. Meraih Masa Depan “Biru Lautku Sejahtera Rakyatku”. Proyek COFISH.
Jakarta. 14-27p
thanks for posting, absolutelt helpfull
BalasHapus