PENGEMBANGAN EKOWISATA
WILAYAH PESISIR DAN LAUT
BY : MOCH MACHTINO A.
MAHALE
A. Pembangunan Dan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah
daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh
perubahan di darat dan laut. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian
Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan
Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu
pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Seogiarto
(1976) dalam Dahuri dkk (2008) definisi pesisir yang digunakan di Indonesia adalah daerah pertemuan antara
darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik
kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti
pasang surut, angin laut dan permbesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah
pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami
yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang
disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti pengundulan hutan dan
pencemaran.
Definisi pesisir diatas
memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir dinamis dan mempunyai
kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling
berinteraksi antara habitat tersebut. Selain potensi yang besar, wilayah
pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan
manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung
berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir.
Tindakan pemanfaatan
sumber daya laut dapat dipastikan berdampak pada adanya perubahan keseimbangan
lingkungan dan bahkan dapat berbentuk sebagai beban pada lingkungan. Apabila
pada akhirnya biaya perbaikan lingkungan lebih besar dari pada nilai ekonomi
yang telah didapatkan maka tujuan pemanfaatan sumber daya untuk memberikan
nilai tambah tidak dapat tercapai (Rais dkk, 2004).
Keberadaan sumberdaya
alam yang besar dan beragam di wilayah pesisir dan laut menyebabkan banyak
instansi atau sektor pelaku pembangunan yang terlibat dalam pemanfaatan
sumberdaya pesisir dan laut. Hal ini berakibat seringnya terjadi tumpang tindih
pemanfaatan sumberdaya alam antara sektor satu sektor dengan sektor yang
lainnya. Oleh karena itu, agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir
dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka daam perencanaan
pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Prinsip
keterpaduan antarsektor adalah kegiatan dari suatu sektor tidak dibenarkan
mengganggu, apalagi sampai mematikan sektor lainnya. Keterpaduan sektoral ini
meliputi keterpaduan antarsektor (horisontal) dan keterpaduan dalam satu sektor
(vertikal). Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan ruang pesisir dan laut
untuk menghindari benturan anatarkegiatan dalam pembangunan wilayah pesisir dan
laut (Tuwo, 2011).
Kebutuhan akan adanya
pengaturan mengenai pengelolaan pesisir dan laur di Indonesia muncul setelah
dituankannya Agenda 21 Global dalam Agenda 21 Indonesia tahun 1996. Disadari
bahwa wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki makna dalam pembangunan
ekonomi tapi disisi lain wilayah pesisir dan laut juga menyimpan sejumlah
persoalan yang terkait dengan ekologi, sosial-ekonomi serta kelembagaan
(Sunyowati, 2008).
Menurut Susilo (2012),
agar pembangunan berkelanjutan dapat berjalan dengan baik haruslah diperhatikan
berbagai ciri pokok dari jaringan kehidupan itu, yaitu:
1.
Prinsip Keterkaitan, yaitu sistem
lingkungan alami yang memuat jaringan kehidupan (web of life) yang mempertautkan semua makhluk alami dalam hubungan
keterkaitan satu dengan yang lain. Selain itu, terkait antara lingkungan
ekonomi dan sosial.
2.
Prinsip keanekaragaman, yaitu semakin
ragam jaringan kehidupan alami, semakin banyak kehidupan alami, semakin banyak
hubungan keterkaitan komponen yang satu dengan yang lain. Semakin kuat, kukuh,
dan stabil jaringan kehidupan alami yang terwujud dalam bentuk ecological system atau sistem yang
semakin kukuh menopang kehidupan manusia.
3.
Prinsip kegunaan, yaitu komponen dalam
jaringan ekosistem memiliki kegunaan dalam berfungsi. Tidak ada yang sia-sia
dan tidak ada yang berguna dalam ekosistem. Termaksud, jaringan kehidupan
sosial-politk dan jaringan kehidupan ekonomi di mana kedua-duanya buatan
manusia sama-sama memiliki kemanfaatan bersama.
4.
Prinsip harmoni, yaitu setiap unsur alam
terangkai secara harmonis antara satu dengan yang lain. Manusia perlu belajar
dan memahami pengembangan harmoni alam ini agar pembangunan lingkungan buatan
manusia dapat pula diterapkan.
5.
Prinsip keberlanjutan, yaitu lingkungan
fisik akan memilki sumberdaya alam renewble
resource yang mampu memperbaharui dirinya.
Dahuri dkk (2008)
menjelaskan, tantangan mendasar bagi perencana dan pengelolaan wilayah pesisir
dan lautan adalah bagaimana memfasilitasi pembangunan ekonomi, dan pada saat
yang sama, meminimalkan dampak negatif dari segenap kegiatan pembangunan dan
sesuai dengan daya dukung lingkungan pesisir, sehingga pembangunan ekonomi
dapat berlangsung secara berkesinambungan. Juga dengan semakin meningkatnya jumlah
penduduk dan intensitas pembangunan ekonomi, maka tekanan lingkungan terhadap
wilayah pesisir, terutama berupa konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam
serta pencemaran, juga akan semakin kompleks dan membengkak. Apabila jika
dikaitkan dengan kemungkinan munculnya dampak pemanasan global (global warming) terhadap kawasan
pesisir. Khususnya peningkatan permukaan laut (sea-level rise), maka tantangan pengelolaan wilayah pesisir dan
lautan di masa depan tidak mungkin dapat di atasi hanya dengan pendekatan
sektoral dan hanya mementingkan keuntungan jangka pendek.
Pembangunan wilayah
pesisir dan laut juga menghendaki adanya kerja sama dari para pihak atau stakeholder pembangunan di kawasan
pesisir dan laut, yaitu pemerintah pusat dan daerah, masyarakat pesisir,
pengusaha, dan lembaga swadaya masyarakat. Para pihak yang memiliki kepentingan
terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir dan laut harus menyusun
perencanaan pengelolaan terpadu yang dapat mengakomodir segenap kepentingan
mereka, dengan menggunakan model pendekatan dua arah, yaitu pendekatan dari
atas ke bawah atau top down dari dari
bawah ke atas atau bottom up.
Pembangunan wilayah pesisir juga menghendaki adanya keterpaduan pendekatan,
sebab pengelolaan wilayah pesisir dan laut memiliki keunikan wilayah dan
beragamnya sumberdaya yang mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah
tersebut secara terpadu (Tuwo, 2011). Ada tiga tipe pengelolaan daerah pesisir
dan pantai yaitu :
a. Integrated coastal management
(ICM)
Merupakan pendekatan top-down yang
merupakan ciri dari pemerintah yang sentralistik. Pendekatan ini untuk
menguatkan keputusan-keputusan dari otorita pemerintah pusat tentang
pengelolaan sumberdaya pesisir dan pantai. ICM ini mempunyai beberapa tujuan
diantaranya mengaitkan antara aktivitas pembangunan, manusia, proses biofisik
dan sektoral dengan lingkungan sekitar pantai misalnya, tanah di sekitar
pantai, sumber-sumber air dan air lepas pantai.
b. Community-based coastal resource
management
Iberlawanan
denga ICM, ini merupakan pendekatan bottom-up
yang melibatkan masyarakat setempat bila dipercaya untuk mengelola maka mereka
akan mengelola sumberdaya laut tersebut dengan penuh tanggung jawab dan
berkelanjutan dengan pembuatan peraturan yang disepakati oleh semua komponen
masyarakat. Maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini lebih efektif dari pada
pendekatan top-down.
c. Colloborative or co-management of
Coastal Resource
Merupakan gabungan antara
pengelolaan yang bersifat top-down dengan bottom-up. Ini menggambarkan realitas
yang paling mungkin dengan melibatkan pemerintah lokal (pemda) untuk berbagai
tanggung jawab dan kerja sama dalam kemitraan yang dinamis. Kerja sama ini
didasarkan pada partisipasi individu dan kelompok yang menguatkan kerangka
kerja pengelolaan sumberdaya. Pemerintah daerah tetap bertanggung jawab pada
semua kebijakan dan koordinasi sementara kelompok-kelompok masyarakat yang menjalankan
aktivitas hariannya dalam mengelola sumberdaya.
Kebijakan di bidang
pesisir dan lautan sebagai kebijakan stategis diharapakan dapat membawa
kemakmuran rakyat, mengembangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia serta
mampu mensejajarkan diri dengan kominitas negara maju didunia. Kebijakan
tersebut didasarkan pada objektivitas ilmiah (scientific objectivity) yang dibangun berdasarkan asas partisipatif
dan diarahkan agar rakyat sebagai penerima terbesar.
Di masa
yang akan datang, Indonesia harus mengembangkan kebijaksanaan yang tegas dalam
melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi. Apa bila pihak yang
berwenang dalam pembuatan kebijaksanaan ini lalai maka akan terjadi penyusutan
berbagai jenis sumberdaya pesisir di seluruh pelosok negeri. Saat ini telah
berkembang kecenderungan yang menggembirakan yakni telah tumbuhnya kesadaran
akan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, sehingga berbagai
institusi telah menambah kemampuannya dalam bidang ini. lndikasi lain dari telah
tumbuhnya kesadaran adalah kesungguhan aparat daerah mulai dari camat,
bapedalda, dinas kehutanan serta dinas perikanan dalam menindak-lanjuti
berbagai kasus dan konflik di wilayah pesisir masing-masing (Rositasari, 2001).
B.
Definsi Ekowisata
Hingga
saat ini belum ada definisi baku tentang Ekowisata Pesisir dan Laut. Sebelum
membuat definisi, maka ada baiknya mengkaji definisi Ekowisata itu sendiri.
Menurut Tuwo (2011). Selain itu menurut
Word Conservation Union (WCU), ekowisata merupakan perjalan wisata ke
wilayah-wilayah yang lingkungan alamnya masih asli, dengan menghargai warisan
budaya dan alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi, tidak menghasilkan dampak
negatif, dan memberikan keuntungan sosial ekonomi serta menghargai partispasi
penduduk lokal. Sementara itu Wood
(2002) mendefinisikan ekowista sebagai bentuk usaha atau sektor ekonomi wisata
alam yang dirumuskan sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan. Sedangkan
menurut Indrawan dkk (2007. Ekowisata merupakan suatu kategori rekreasi yang
melibatkan sejumlah orang yang mengunjungi suatu tempat dan membelanjakan
seluruh atau sebagian uangnya demi memperoleh pengalaman berinteraksi dengan
komunitas biologi yang luar biasa. Ekowisata didefinisikan sebagai bentuk
wisata yang menekankan tanggung jawab terhadap kelestarian alam, memberi
manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat
setempat. Jika dikaji, maka definisi ini menekankan pada pentingnya gerakan
konservasi.
Seiring
dengan berkembangnya niat konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,
maka lahir definisi baru mengenai Ekowisata, yaitu bentuk perjalanan wisata ke
area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonversi lingkungan dengan
melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Definisi terbaru
dari ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan menyetarakan aspek
pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat
dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Jika berdasar pada definisi yang
terakhir ini, maka dapat dirumuskan bahwa Ekowisata pesisir dan laut adalah
wisata yang berbasis pada sumberdaya alam pesisir dan laut dengan menyertakan
aspek pendidikan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat
dengan pengelolaan kelestarian ekosistem pesisir dan laut (Tuwo, 2011).
C. Pendekatan Pengelolaan
Ekowisata
Pada saat ini,
ekowisata telah berkembang. Wisata ini tidak hanya sekedar untuk melakukan
pengamatan burung, mengendarai kuda, penelusuran jejak di hutan belantara,
tetapi telah terkait dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal.
Ekowisata ini kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang
tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata
tidak dapat dipisahkan dengan konservasi. Dimana konservasi merupakan
implementasi pengelolaan ekosistem sumberdaya laut dari kerusakan akibat aktivitas
manusia (Supriharyono, 2009). Oleh karenanya, ekowisata disebut sebagai bentuk
perjalanan wisata bertanggungjawab.
Sejak 1970an, organisasi konservasi mulai melihat
ekowisata sebagai alternatif ekonomi yang berbasis konservasi karena tidak
merusak alam ataupun tidak “ekstraktif” dengan berdampak negatif terhadap
lingkungan seperti penebangan dan pertambangan. Ekowisata juga dianggap sejenis
usaha yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang
tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi (WWF-Indonesia, 2009).
Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola
dengan pendekatan konservasi. Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya
masyarakat yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan, sementara konservasi
merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu
kini dan masa mendatang (Fandeli, 2000).
Agar ekowisata tetap berkelanjutan, perlu tercipta
kondisi yang memungkinkan di mana masyarakat diberi wewenang untuk mengambil
keputusan dalam pengelolaan usaha ekowisata, mengatur arus dan jumlah
wisatawan, dan mengembangkan ekowisata sesuai visi dan harapan masyarakat untuk
masa depan. Menurut Tuwo (2011) pendekatan berkelanjutan harus dapat menjamin
kelestarian lingkungan, Yaitu: (1) menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis
yang mendukung sistem kehidupan; (2) melindungi keanekaragaman hayati; dan (3)
menjamin kelestarian dan memanfaatkan jenis organisme dan ekosistemnya.
D.
Pengembangan Ekowisata Diwilayah Pesisir Dan Laut Yang Berkelanjutan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Sumber Daya Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil adalah wilayah pesisir terdiri atas sumber daya hayati,
sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber
daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota
laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut;
sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan
perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut
tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta
energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
Dahuri dkk.
(2008) mengemukakan bahwa di dalam kawasan pesisir terdapat satu atau lebih
sistem lingkungan atau ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir
dapat bersifat alami ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di kawasan
pesisir antara lain adalah terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai
berpasir, estuaria, laguna, dan delta. Ekosistem buatan antara lain tambak,
sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri,
dan kawasan pemukiman.
Disamping
sumberdaya alam yang produktif ekosistem pesisir dan laut merupakan penyedia
jasa pendukung kehidupan, seperti air bersih dan ruang yang diperlukan bagi
berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan
ekosistem pesisir dan laut merupakan lokasi indah dan menyejukkan untuk
dijadikan tempat rekreasi atau parawisata (Bengen, 2004)
Pembangunan
wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan
merupakan kebijakan penting Depatermen Kalutan dan Perikanan. Kebijakan
tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa wilayah peisisr dan laut secara
ekologis dan ekonomis sangat potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan demi
kesejahteraan rakyat. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk
mendorong pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, namun
pola pemanfaatan yang sifatnya merusak dan mengancam kelestarian sumberdaya
pesisir dan laut masih saja terus berlangsung. Pengembangan ekowisata merupakan
salah satu alternatif pembangunan yang dapat membantu mengatasi masalah
tersebut (Tuwo, 2011).
Nugroho
dan dahuri (2012), juga menjelaskan posisi kritikal dalam pengembangan
ekowisata sesungguhnya terletak pada tingkat implementasi di wilayah lokal atau
pemda. Di tingkat lokal tersebut, bertemu kepentingan penyediaan jasa ekowisata
dan permintaan pengunjung. Bisnis jasa ekowisata mungkin saja menghadapi
kendala seperti dihadapi bisnis umumnya. Namun jasa ekowisata perlu lebih
serius ditangani agar supaya menghasilkan nilai tambah yang nyata dan positif
bagi kegiatan konservasi lingkungan dan budaya setempat.
Selain
itu juga suatu kawasan relatif baru yang memiliki potensi sumberdaya alam yang
baik juga memerlukan adanya pemasaran
yang baik pula. Dimana pemasaran memberikan kebutuhan akan kegiatan manusia
melalui proses pertukaran. Faktor-faktor yang merupakan inti pemasaran adalah
produk, harga, promosi dan distribusi. Kebijaksanaan
bagi perusahaan-pe-rusahaan yang bergerak dalam bidang kepa-riwisataan, usaha
swasta atau pemerintah, baik dalam ruang lingkup lokal, regional, na-sional dan
internasional harus diupayakan mencapai kepuasan optimal wisatawan. Ke-butuhan-kebutuhan
wisatawan dapat dipenuhi dan pelaku usaha wisata memperoleh keuntungan yang
wajar (Sudirman, 2013).
Aktivitas ekowisata saat ini tengah menjadi tren
yang menarik yang dilakukkan oleh para wisatawan untuk menikmati bentuk-bentuk
wisata yang berbeda dari biasanya. Dalam konteks ini wisata yang dilakukkan
memiliki bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya-upaya konservasi, pemberdayaan
ekonomi lokal dan mendorong respek yang lebih tinggi terhadap perbedaan kultur atau
budaya. Hal inilah yang mendasari perbedaan antara konsep ekowisata dengan
model wisata konvensional yang telah ada sebelumnya (Satria, 2009).
Satria (2009) menjelaskan, walaupun banyak
nilai-nilai positif yang ditawarkan dalam konsep ekowisata, namun model ini
masih menyisakan kritik dan persoalan terhadap pelaksanaanya. Beberapa kritikan
terhadap konsep ekowisata antara lain:
1. Dampak
negatif dari pariwisata terhadap kerusakan lingkungan. Meski konsep ecotourism
mengedepankan isu konservasi didalamnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa
pelanggaran terhadap hal tersebut masih saja ditemui di lapangan. Hal ini
selain disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat sekitar
dan turis tentang konsep ekowisata, juga disebabkan karena lemahnya manajemen
dan peran pemerintah dalam mendorong upaya konservasi dan tindakan yang tegas
dalam mengatur masalah kerusakan lingkungan.
2. Rendahnya
partisipasi masyarakat dalam Ekowisata. Dalam pengembangan wilayah Ekowisata
seringkali melupakan partisipasi masyarakat sebagai stakeholder penting
dalam pengembangan wilayah atau kawasan wisata. Masyarakat sekitar seringkali
hanya sebagai obyek atau penonton, tanpa mampu terlibat secara aktif dalam
setiap proses-proses ekonomi didalamnya.
3. Pengelolaan yang salah. Persepsi dan pengelolaan
yang salah dari konsep ekowisata seringkali terjadi dibeberapa wilayah di
Indonesia. Hal ini selain disebabkan karena pemahaman yang rendah dari konsep
Ekowisata juga disebabkan karena lemahnya peran dan pengawasan pemerintah untuk
mengembangkan wilayah wisata secara baik.
Untuk mengembangkan pengelolaan ekowisata,
diperlukan koordinasi antar lembaga dalam penanganan wisata diperlukan untuk
menghindari konflik antar pemanfaat wilayah pesisir. Adanya berbagai pihak yang
melakukan aktivitas di kawasan pesisir tanpa disertai konservasi dan pemulihan
akan berdampak terhadap menurunnya kondisi lingkungan. Konservasi sumber daya
alam tetap merupakan isu utama dalam pengelolaan wisata bahari di kawasan
pesisir (Amanah dan Utami, 2006).
Perkembangan pariwisata
juga bergantung pada aspek suprastruktur dan infrastrukur. Aspek suprastruktur
merupakan fasilitas penunjang untuk pengunjung seperti penginapan, restoran,
kolam renang, dll. Aspek infrastruktur meliputi ketersediaan air bersih,
pembuangan sampah dan sumber daya listrik, akses ke airport, jalan, pelabuhan,
dll. Tanpa adanya kedua aspek tersebut, maka pariwisata akan menyebabkan dampak
negatif (Amanah dan Utami, 2006).
Setyadi dkk (2012) juga
mengungkapkan kendala dalam pengembangan ekowisata diantaranya adalah mengenai
jarak, aksesibilitas, peran pelaku pembangungan, pengetahuan tentang konsep
ekowisata yang masih terbatas, dan tingkat kunjungan wisatawan yang masih rendah.
Inskeep (1991)
mengemukakan untuk mengembangkan suatu kawasan wisata terdapat tujuh komponen
yang saling berhubungan yaitu : daya tarik dan aktifitas wisata, fasilitas, dan
pelayanan wisata, sistem infrastruktur, sistem transportasi, elemen-elemen
kelembagaan (strategi pemasaran, program promosi, sistem regulasi dll),
pelestarian lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Manurung (2002)
dalam Nugroho (2011) juga menjelaskan
produk dan jasa dapat dikelompokkan kedalam enam jenis : (1) pemandangan dan
atraksi lingkungan dan budaya, (2) manfaat
landsekap, misalnya memancing dan menyelam, (3) akomodasi, misalnya pondok
wisata, restoran, (4) peralatan dan
perlengkapan, misalnya sewa alat menyelam dan camping, (5) pendidikan dan
ketrampilan, (6) pengharagaan, yakni prestasi di dalam upaya konservasi.
Tuwo (2011) menjelaskan
beberapa prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi agar dapat menjamin
keutuhan dan kelestarian ekosistem pesisir dan laut :
1.
Mencegah dan menanggulangi dampak dari
aktivitas wisatawan terhadap bentang alam dan budaya masyarakat lokal.
2.
Mendidik atau menyadarkan wisatawan dan
masyarakat lokal akan pentingnya konservasi.
3.
Mangatur agar kawasan yang digunakan
untuk ekowisata dan management pengelola kawaasan peletarian dapat menerima
langsung penghasilan atau pendapatan.
4.
Masyarakat dilibatkan secara aktif dalam
perencanaan dan pengembangan ekowisata.
5.
Keuntungan ekonomi yang diperoleh secara
nyata dari kegiatan ekowisata harus dapat mendorong masyarakat untuk menjaga
kelestarian kawasan pesisir dan laut.
6.
Semua upaya pengembangan , termaksud
pengembangan fasilitas dan utilitas, harus tetap menjaga
keharmonisasian dengan alam.
7.
Pembatasan pemenuhan permintaan, karena
umumnya daya dukung ekosistem alamiah lebih rendah daripada daya dukung
ekosistem buatan.
8.
Apabila suatu kawasan pelestarian
dikembangkan untuk ekowisata, maka
devisa dan belanja wisatawan dialokasikan secara proposional dan adil untuk
pemerintah pusat dan daerah.
Berkembangkanya
ekowisata mengkonstribusikan secara signifikan upaya perlindungan lingkungan
dan penduduk lokal. Menurut Atta dkk (2013) konsep ekowisata lebih baik jika dikembangkan
lagi dengan konsep ekowisata berbasis masyarakat atau Community Based
Ecotourism (CBE). Pengembangan ekowisata–CBE akan memiliki multiplier
effect yang sangat luas terutama dalam upaya mempertahankan kondisi
lingkungan (sisi ekologis) namun tidak melupakan peningkatan perekonomian
masyarakat lokal (sisi ekonomi).
DAFTAR
PUSTAKA
Amanah,
S. dan Utami, N. 2006. Perilaku Nelayan Dalam Pengelolaan Wisata Bahari Di
Kawasan Pantai Lovina, Bulelang, Bali. Jurnal Penyuluhan Septermber 2006, Vol.
2, No 2. Hal 83-90.
Atta,
M., Hakim, M., Yanuwiadi. Analisis dan Potensi dan arahan strategis Kebikana
Pengembangan Desa Ekowisata Di Kecamatan Bumiaji-Kota Batu. Journal Of
Indonesia Tourism and Development Studies. Vol. 1, No. 2, April 2013. Hal
68-78.
Bengen,
D. G. 2004. Sinopsis Ekosistem Dan Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut Serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Institut
Pertanian Bogor (PKSPL) IPB, Bogor.
Dahuri,
R., Rais, J., Ginting, S. P., Sitepu, M. J. 2008. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Peisir Dan Lautan Secara Terpadu. . PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Fandeli.
2000. Pengertian dan konsep dasar Ekowisata. www.geocities.com/roykapet/konsep_ekowisata.pdf
Indrawan,
M., Primack, R. B., dan Supriatna, J. 2012. Biologi Konservasi. Yayasan Obor
Indonesia. Jakarta. .
Inskeep,
E. 1991. Tourism Planning : An Integrated and Sustainable Development Approach.
New York : Van Nostrand Reinhoid
Keputusan
Bupati Bone Bolango Nomor 165 Tahun 2006. Tentang Petapan Kawasan Konservasi
Laut Daerah Di Desa Olele Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango.
Mukaryanti
dan Saraswati, A. 2005. Pengembangan Ekowisata Sebagai Pendekatan Pengeloaan
Sumber Daya Pesisir Berkelanjutan. J.Tek.Ling.P3TL-BPPT .6. (2): 391-396.
Nugroho,
I., Dahuri, R. 2012. Pembangunan Wilayah; Perspektif Ekonomi, Sosial dan
Lingkungan. Penerbit LP3ES. Jakarta.
Nugroho,
I. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Belajar. Yogyakarta.
Rais,
J., Sulistiyo, B., Diamar, S., Gunawan., Sumampouw, M., Soeprapto, T. A.,
Shuardi, I., Widodo, M. S. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. PT Pradnya
Paramita. Jakarta.
Rositasari,
R. 2001. Indonesia Menuju Manajemen Wilayah Pesisir Terintegrasi. Oseana, ISSN
0216-1877. Volume XXVI, Nomor 2, 2001. Hal 25-34.
Satria,
D. 2009. Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal Dalam Rangka
Program Pengentasan Kemiskinan Di Wilayah Kabupaten Malang. Journal Of
Indonesian Applied Economics. Vol.3 No.1 Mei 2009. Hal 37-47.
Setyadi,
I. A., Hartoyo, Maulana, A., Muntasib. 2012. Strategi Pengembangan Ekowisata Di
Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Jurnal Manajemen & Agrobisnis,
Vol. 9 No. 1 Maret 2012. 1-12
Shofwan.,
Khusaini, M., Badriyah N. 2008. Pengelolaan Potensi Sumberdaya Kelautan Sebagai
Upaya Peningkatan Pendapatan Nelayan (Studi Kasus Community-Based Management
Wilayah Pesisir di Kabupaten Tuban. Journal Of Indonesian Applied Economics.
Vol. 2 No. 1 Mei 2008, 102-112.
Sudirman,
D. 2013. Kajian Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata Taman , Nasional Subangau.
Jurnal Imu Sosial. Volume 5, No. 1, Februari 2013. 23-30.
Supriharyono.
2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati Di Wilayah Pesisir dan Laut
Tropis. Pustaka Belajar. Yogyakarta. Hal 289.
Susilo,
R. K. D. 2012. Sosiologi Lingkungan & Sumberdaya Alam Perspektif Teori dan
Isu-Isu Mutakhir. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta.
Sunyowati,
D. Penataan Ruang Laut Berdasarkan Integrated
Coastal Management. Mimbar Hukum Volume 20, Nomor 3, Oktober 2008, Halaman
411-588.
Tuwo,
A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir Dan Laut; Pendekatan Ekologi,
Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional. Surabaya.
Wood.
M. E. 2002. Ecotorism : Principles, Pratices and Politicies For Sustainability.
United Nations Environment Programe (UNEP).
WWF-Indonesia.
2009. Prinsip Dan Kriteria Ekowisata Berbasis Masyarakat. Kerjasama Direktorat
Produk Parawisata, Direktorat Jendral Pengembangan Destinasi Parawisata,
Departemen Kebudayaan dan Parawisata dan WWF-Indonesia.