Senin, 14 Oktober 2013

PENGEMBANGAN EKOWISATA WILAYAH PESISIR DAN LAUT

PENGEMBANGAN EKOWISATA WILAYAH PESISIR DAN LAUT
BY : MOCH MACHTINO A. MAHALE


A. Pembangunan Dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Seogiarto (1976) dalam Dahuri dkk (2008) definisi pesisir yang digunakan  di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan permbesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti pengundulan hutan dan pencemaran.
Definisi pesisir diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir.
Tindakan pemanfaatan sumber daya laut dapat dipastikan berdampak pada adanya perubahan keseimbangan lingkungan dan bahkan dapat berbentuk sebagai beban pada lingkungan. Apabila pada akhirnya biaya perbaikan lingkungan lebih besar dari pada nilai ekonomi yang telah didapatkan maka tujuan pemanfaatan sumber daya untuk memberikan nilai tambah tidak dapat tercapai (Rais dkk, 2004).
Keberadaan sumberdaya alam yang besar dan beragam di wilayah pesisir dan laut menyebabkan banyak instansi atau sektor pelaku pembangunan yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Hal ini berakibat seringnya terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya alam antara sektor satu sektor dengan sektor yang lainnya. Oleh karena itu, agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka daam perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Prinsip keterpaduan antarsektor adalah kegiatan dari suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan sektor lainnya. Keterpaduan sektoral ini meliputi keterpaduan antarsektor (horisontal) dan keterpaduan dalam satu sektor (vertikal). Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan ruang pesisir dan laut untuk menghindari benturan anatarkegiatan dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut (Tuwo, 2011).
Kebutuhan akan adanya pengaturan mengenai pengelolaan pesisir dan laur di Indonesia muncul setelah dituankannya Agenda 21 Global dalam Agenda 21 Indonesia tahun 1996. Disadari bahwa wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki makna dalam pembangunan ekonomi tapi disisi lain wilayah pesisir dan laut juga menyimpan sejumlah persoalan yang terkait dengan ekologi, sosial-ekonomi serta kelembagaan (Sunyowati, 2008).
Menurut Susilo (2012), agar pembangunan berkelanjutan dapat berjalan dengan baik haruslah diperhatikan berbagai ciri pokok dari jaringan kehidupan itu, yaitu:
1.      Prinsip Keterkaitan, yaitu sistem lingkungan alami yang memuat jaringan kehidupan (web of life) yang mempertautkan semua makhluk alami dalam hubungan keterkaitan satu dengan yang lain. Selain itu, terkait antara lingkungan ekonomi dan sosial.
2.      Prinsip keanekaragaman, yaitu semakin ragam jaringan kehidupan alami, semakin banyak kehidupan alami, semakin banyak hubungan keterkaitan komponen yang satu dengan yang lain. Semakin kuat, kukuh, dan stabil jaringan kehidupan alami yang terwujud dalam bentuk ecological system atau sistem yang semakin kukuh menopang kehidupan manusia.
3.      Prinsip kegunaan, yaitu komponen dalam jaringan ekosistem memiliki kegunaan dalam berfungsi. Tidak ada yang sia-sia dan tidak ada yang berguna dalam ekosistem. Termaksud, jaringan kehidupan sosial-politk dan jaringan kehidupan ekonomi di mana kedua-duanya buatan manusia sama-sama memiliki kemanfaatan bersama.
4.      Prinsip harmoni, yaitu setiap unsur alam terangkai secara harmonis antara satu dengan yang lain. Manusia perlu belajar dan memahami pengembangan harmoni alam ini agar pembangunan lingkungan buatan manusia dapat pula diterapkan.
5.      Prinsip keberlanjutan, yaitu lingkungan fisik akan memilki sumberdaya alam renewble resource yang mampu memperbaharui dirinya.
Dahuri dkk (2008) menjelaskan, tantangan mendasar bagi perencana dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan adalah bagaimana memfasilitasi pembangunan ekonomi, dan pada saat yang sama, meminimalkan dampak negatif dari segenap kegiatan pembangunan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan pesisir, sehingga pembangunan ekonomi dapat berlangsung secara berkesinambungan. Juga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas pembangunan ekonomi, maka tekanan lingkungan terhadap wilayah pesisir, terutama berupa konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam serta pencemaran, juga akan semakin kompleks dan membengkak. Apabila jika dikaitkan dengan kemungkinan munculnya dampak pemanasan global (global warming) terhadap kawasan pesisir. Khususnya peningkatan permukaan laut (sea-level rise), maka tantangan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di masa depan tidak mungkin dapat di atasi hanya dengan pendekatan sektoral dan hanya mementingkan keuntungan jangka pendek.
Pembangunan wilayah pesisir dan laut juga menghendaki adanya kerja sama dari para pihak atau stakeholder pembangunan di kawasan pesisir dan laut, yaitu pemerintah pusat dan daerah, masyarakat pesisir, pengusaha, dan lembaga swadaya masyarakat. Para pihak yang memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir dan laut harus menyusun perencanaan pengelolaan terpadu yang dapat mengakomodir segenap kepentingan mereka, dengan menggunakan model pendekatan dua arah, yaitu pendekatan dari atas ke bawah atau top down dari dari bawah ke atas atau bottom up. Pembangunan wilayah pesisir juga menghendaki adanya keterpaduan pendekatan, sebab pengelolaan wilayah pesisir dan laut memiliki keunikan wilayah dan beragamnya sumberdaya yang mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu (Tuwo, 2011). Ada tiga tipe pengelolaan daerah pesisir dan pantai yaitu :
a.       Integrated coastal management (ICM)
Merupakan pendekatan top-down yang merupakan ciri dari pemerintah yang sentralistik. Pendekatan ini untuk menguatkan keputusan-keputusan dari otorita pemerintah pusat tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan pantai. ICM ini mempunyai beberapa tujuan diantaranya mengaitkan antara aktivitas pembangunan, manusia, proses biofisik dan sektoral dengan lingkungan sekitar pantai misalnya, tanah di sekitar pantai, sumber-sumber air dan air lepas pantai.
b.      Community-based coastal resource management
Iberlawanan denga ICM, ini merupakan  pendekatan bottom-up yang melibatkan masyarakat setempat bila dipercaya untuk mengelola maka mereka akan mengelola sumberdaya laut tersebut dengan penuh tanggung jawab dan berkelanjutan dengan pembuatan peraturan yang disepakati oleh semua komponen masyarakat. Maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini lebih efektif dari pada pendekatan top-down.
c.       Colloborative or co-management of Coastal Resource
Merupakan gabungan antara pengelolaan yang bersifat top-down dengan bottom-up. Ini menggambarkan realitas yang paling mungkin dengan melibatkan pemerintah lokal (pemda) untuk berbagai tanggung jawab dan kerja sama dalam kemitraan yang dinamis. Kerja sama ini didasarkan pada partisipasi individu dan kelompok yang menguatkan kerangka kerja pengelolaan sumberdaya. Pemerintah daerah tetap bertanggung jawab pada semua kebijakan dan koordinasi sementara kelompok-kelompok masyarakat yang menjalankan aktivitas hariannya dalam mengelola sumberdaya.
Kebijakan di bidang pesisir dan lautan sebagai kebijakan stategis diharapakan dapat membawa kemakmuran rakyat, mengembangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia serta mampu mensejajarkan diri dengan kominitas negara maju didunia. Kebijakan tersebut didasarkan pada objektivitas ilmiah (scientific objectivity) yang dibangun berdasarkan asas partisipatif dan diarahkan agar rakyat sebagai penerima terbesar.
Di masa yang akan datang, Indonesia harus mengembangkan kebijaksanaan yang tegas dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi. Apa bila pihak yang berwenang dalam pembuatan kebijaksanaan ini lalai maka akan terjadi penyusutan berbagai jenis sumberdaya pesisir di seluruh pelosok negeri. Saat ini telah berkembang kecenderungan yang menggembirakan yakni telah tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, sehingga berbagai institusi telah menambah kemampuannya dalam bidang ini. lndikasi lain dari telah tumbuhnya kesadaran adalah kesungguhan aparat daerah mulai dari camat, bapedalda, dinas kehutanan serta dinas perikanan dalam menindak-lanjuti berbagai kasus dan konflik di wilayah pesisir masing-masing (Rositasari, 2001).


B. Definsi Ekowisata
            Hingga saat ini belum ada definisi baku tentang Ekowisata Pesisir dan Laut. Sebelum membuat definisi, maka ada baiknya mengkaji definisi Ekowisata itu sendiri. Menurut Tuwo (2011). Selain itu  menurut Word Conservation Union (WCU), ekowisata merupakan perjalan wisata ke wilayah-wilayah yang lingkungan alamnya masih asli, dengan menghargai warisan budaya dan alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi, tidak menghasilkan dampak negatif, dan memberikan keuntungan sosial ekonomi serta menghargai partispasi penduduk lokal.  Sementara itu Wood (2002) mendefinisikan ekowista sebagai bentuk usaha atau sektor ekonomi wisata alam yang dirumuskan sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan. Sedangkan menurut Indrawan dkk (2007. Ekowisata merupakan suatu kategori rekreasi yang melibatkan sejumlah orang yang mengunjungi suatu tempat dan membelanjakan seluruh atau sebagian uangnya demi memperoleh pengalaman berinteraksi dengan komunitas biologi yang luar biasa. Ekowisata didefinisikan sebagai bentuk wisata yang menekankan tanggung jawab terhadap kelestarian alam, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Jika dikaji, maka definisi ini menekankan pada pentingnya gerakan konservasi.
            Seiring dengan berkembangnya niat konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka lahir definisi baru mengenai Ekowisata, yaitu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonversi lingkungan dengan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Definisi terbaru dari ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan menyetarakan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Jika berdasar pada definisi yang terakhir ini, maka dapat dirumuskan bahwa Ekowisata pesisir dan laut adalah wisata yang berbasis pada sumberdaya alam pesisir dan laut dengan menyertakan aspek pendidikan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekosistem pesisir dan laut (Tuwo, 2011).
C. Pendekatan Pengelolaan Ekowisata
Pada saat ini, ekowisata telah berkembang. Wisata ini tidak hanya sekedar untuk melakukan pengamatan burung, mengendarai kuda, penelusuran jejak di hutan belantara, tetapi telah terkait dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal. Ekowisata ini kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi. Dimana konservasi merupakan implementasi pengelolaan ekosistem sumberdaya laut dari kerusakan akibat aktivitas manusia (Supriharyono, 2009). Oleh karenanya, ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggungjawab.
Sejak 1970an, organisasi konservasi mulai melihat ekowisata sebagai alternatif ekonomi yang berbasis konservasi karena tidak merusak alam ataupun tidak “ekstraktif” dengan berdampak negatif terhadap lingkungan seperti penebangan dan pertambangan. Ekowisata juga dianggap sejenis usaha yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi (WWF-Indonesia, 2009).
Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya masyarakat yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan, sementara konservasi merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa mendatang (Fandeli, 2000).
Agar ekowisata tetap berkelanjutan, perlu tercipta kondisi yang memungkinkan di mana masyarakat diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan usaha ekowisata, mengatur arus dan jumlah wisatawan, dan mengembangkan ekowisata sesuai visi dan harapan masyarakat untuk masa depan. Menurut Tuwo (2011) pendekatan berkelanjutan harus dapat menjamin kelestarian lingkungan, Yaitu: (1) menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang mendukung sistem kehidupan; (2) melindungi keanekaragaman hayati; dan (3) menjamin kelestarian dan memanfaatkan jenis organisme dan ekosistemnya.
D. Pengembangan Ekowisata Diwilayah Pesisir Dan Laut Yang Berkelanjutan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah wilayah pesisir terdiri atas sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
Dahuri dkk. (2008) mengemukakan bahwa di dalam kawasan pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan atau ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di kawasan pesisir antara lain adalah terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berpasir, estuaria, laguna, dan delta. Ekosistem buatan antara lain tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri, dan kawasan pemukiman.
            Disamping sumberdaya alam yang produktif ekosistem pesisir dan laut merupakan penyedia jasa pendukung kehidupan, seperti air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan ekosistem pesisir dan laut merupakan lokasi indah dan menyejukkan untuk dijadikan tempat rekreasi atau parawisata (Bengen, 2004)
            Pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan  merupakan kebijakan penting Depatermen Kalutan dan Perikanan. Kebijakan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa wilayah peisisr dan laut secara ekologis dan ekonomis sangat potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, namun pola pemanfaatan yang sifatnya merusak dan mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan laut masih saja terus berlangsung. Pengembangan ekowisata merupakan salah satu alternatif pembangunan yang dapat membantu mengatasi masalah tersebut (Tuwo, 2011).
            Nugroho dan dahuri (2012), juga menjelaskan posisi kritikal dalam pengembangan ekowisata sesungguhnya terletak pada tingkat implementasi di wilayah lokal atau pemda. Di tingkat lokal tersebut, bertemu kepentingan penyediaan jasa ekowisata dan permintaan pengunjung. Bisnis jasa ekowisata mungkin saja menghadapi kendala seperti dihadapi bisnis umumnya. Namun jasa ekowisata perlu lebih serius ditangani agar supaya menghasilkan nilai tambah yang nyata dan positif bagi kegiatan konservasi lingkungan dan budaya setempat.
            Selain itu juga suatu kawasan relatif baru yang memiliki potensi sumberdaya alam yang baik juga memerlukan adanya  pemasaran yang baik pula. Dimana pemasaran memberikan kebutuhan akan kegiatan manusia melalui proses pertukaran. Faktor-faktor yang merupakan inti pemasaran adalah produk, harga, promosi dan distribusi. Kebijaksanaan bagi perusahaan-pe-rusahaan yang bergerak dalam bidang kepa-riwisataan, usaha swasta atau pemerintah, baik dalam ruang lingkup lokal, regional, na-sional dan internasional harus diupayakan mencapai kepuasan optimal wisatawan. Ke-butuhan-kebutuhan wisatawan dapat dipenuhi dan pelaku usaha wisata memperoleh keuntungan yang wajar (Sudirman, 2013).
Aktivitas ekowisata saat ini tengah menjadi tren yang menarik yang dilakukkan oleh para wisatawan untuk menikmati bentuk-bentuk wisata yang berbeda dari biasanya. Dalam konteks ini wisata yang dilakukkan memiliki bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya-upaya konservasi, pemberdayaan ekonomi lokal dan mendorong respek yang lebih tinggi terhadap perbedaan kultur atau budaya. Hal inilah yang mendasari perbedaan antara konsep ekowisata dengan model wisata konvensional yang telah ada sebelumnya (Satria, 2009).
Satria (2009) menjelaskan, walaupun banyak nilai-nilai positif yang ditawarkan dalam konsep ekowisata, namun model ini masih menyisakan kritik dan persoalan terhadap pelaksanaanya. Beberapa kritikan terhadap konsep ekowisata antara lain:
1.      Dampak negatif dari pariwisata terhadap kerusakan lingkungan. Meski konsep ecotourism mengedepankan isu konservasi didalamnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pelanggaran terhadap hal tersebut masih saja ditemui di lapangan. Hal ini selain disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat sekitar dan turis tentang konsep ekowisata, juga disebabkan karena lemahnya manajemen dan peran pemerintah dalam mendorong upaya konservasi dan tindakan yang tegas dalam mengatur masalah kerusakan lingkungan.
2.      Rendahnya partisipasi masyarakat dalam Ekowisata. Dalam pengembangan wilayah Ekowisata seringkali melupakan partisipasi masyarakat sebagai stakeholder penting dalam pengembangan wilayah atau kawasan wisata. Masyarakat sekitar seringkali hanya sebagai obyek atau penonton, tanpa mampu terlibat secara aktif dalam setiap proses-proses ekonomi didalamnya.
3.       Pengelolaan yang salah. Persepsi dan pengelolaan yang salah dari konsep ekowisata seringkali terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia. Hal ini selain disebabkan karena pemahaman yang rendah dari konsep Ekowisata juga disebabkan karena lemahnya peran dan pengawasan pemerintah untuk mengembangkan wilayah wisata secara baik.
Untuk mengembangkan pengelolaan ekowisata, diperlukan koordinasi antar lembaga dalam penanganan wisata diperlukan untuk menghindari konflik antar pemanfaat wilayah pesisir. Adanya berbagai pihak yang melakukan aktivitas di kawasan pesisir tanpa disertai konservasi dan pemulihan akan berdampak terhadap menurunnya kondisi lingkungan. Konservasi sumber daya alam tetap merupakan isu utama dalam pengelolaan wisata bahari di kawasan pesisir (Amanah dan Utami, 2006).
Perkembangan pariwisata juga bergantung pada aspek suprastruktur dan infrastrukur. Aspek suprastruktur merupakan fasilitas penunjang untuk pengunjung seperti penginapan, restoran, kolam renang, dll. Aspek infrastruktur meliputi ketersediaan air bersih, pembuangan sampah dan sumber daya listrik, akses ke airport, jalan, pelabuhan, dll. Tanpa adanya kedua aspek tersebut, maka pariwisata akan menyebabkan dampak negatif (Amanah dan Utami, 2006).
Setyadi dkk (2012) juga mengungkapkan kendala dalam pengembangan ekowisata diantaranya adalah mengenai jarak, aksesibilitas, peran pelaku pembangungan, pengetahuan tentang konsep ekowisata yang masih terbatas, dan tingkat kunjungan wisatawan yang masih rendah.
Inskeep (1991) mengemukakan untuk mengembangkan suatu kawasan wisata terdapat tujuh komponen yang saling berhubungan yaitu : daya tarik dan aktifitas wisata, fasilitas, dan pelayanan wisata, sistem infrastruktur, sistem transportasi, elemen-elemen kelembagaan (strategi pemasaran, program promosi, sistem regulasi dll), pelestarian lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Manurung (2002) dalam Nugroho (2011)  juga menjelaskan produk dan jasa dapat dikelompokkan kedalam enam jenis : (1) pemandangan dan atraksi  lingkungan dan budaya, (2) manfaat landsekap, misalnya memancing dan menyelam, (3) akomodasi, misalnya pondok wisata, restoran, (4)  peralatan dan perlengkapan, misalnya sewa alat menyelam dan camping, (5) pendidikan dan ketrampilan, (6) pengharagaan, yakni prestasi di dalam upaya konservasi.
Tuwo (2011) menjelaskan beberapa prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi agar dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem pesisir dan laut :
1.      Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap bentang alam dan budaya masyarakat lokal.
2.      Mendidik atau menyadarkan wisatawan dan masyarakat lokal akan pentingnya konservasi.
3.      Mangatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan management pengelola kawaasan peletarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan.
4.      Masyarakat dilibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pengembangan ekowisata.
5.      Keuntungan ekonomi yang diperoleh secara nyata dari kegiatan ekowisata harus dapat mendorong masyarakat untuk menjaga kelestarian kawasan pesisir dan laut.
6.      Semua upaya pengembangan , termaksud pengembangan  fasilitas dan utilitas, harus tetap menjaga keharmonisasian dengan alam.
7.      Pembatasan pemenuhan permintaan, karena umumnya daya dukung ekosistem alamiah lebih rendah daripada daya dukung ekosistem buatan.
8.      Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata,  maka devisa dan belanja wisatawan dialokasikan secara proposional dan adil untuk pemerintah pusat dan daerah.

Berkembangkanya ekowisata mengkonstribusikan secara signifikan upaya perlindungan lingkungan dan penduduk lokal. Menurut Atta dkk (2013) konsep ekowisata lebih baik jika dikembangkan lagi dengan konsep ekowisata berbasis masyarakat atau Community Based Ecotourism (CBE). Pengembangan ekowisata–CBE akan memiliki multiplier effect yang sangat luas terutama dalam upaya mempertahankan kondisi lingkungan (sisi ekologis) namun tidak melupakan peningkatan perekonomian masyarakat lokal (sisi ekonomi).










DAFTAR PUSTAKA

Amanah, S. dan Utami, N. 2006. Perilaku Nelayan Dalam Pengelolaan Wisata Bahari Di Kawasan Pantai Lovina, Bulelang, Bali. Jurnal Penyuluhan Septermber 2006, Vol. 2, No 2. Hal 83-90.
Atta, M., Hakim, M., Yanuwiadi. Analisis dan Potensi dan arahan strategis Kebikana Pengembangan Desa Ekowisata Di Kecamatan Bumiaji-Kota Batu. Journal Of Indonesia Tourism and Development Studies. Vol. 1, No. 2, April 2013. Hal 68-78.
Bengen, D. G. 2004. Sinopsis Ekosistem Dan Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL) IPB, Bogor. 
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S. P., Sitepu, M. J. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Peisir Dan Lautan Secara Terpadu. . PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Fandeli. 2000. Pengertian dan konsep dasar Ekowisata. www.geocities.com/roykapet/konsep_ekowisata.pdf
Indrawan, M., Primack, R. B., dan Supriatna, J. 2012. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. .
Inskeep, E. 1991. Tourism Planning : An Integrated and Sustainable Development Approach. New York : Van Nostrand Reinhoid
Keputusan Bupati Bone Bolango Nomor 165 Tahun 2006. Tentang Petapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Di Desa Olele Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango.
Mukaryanti dan Saraswati, A. 2005. Pengembangan Ekowisata Sebagai Pendekatan Pengeloaan Sumber Daya Pesisir Berkelanjutan. J.Tek.Ling.P3TL-BPPT .6. (2): 391-396.
Nugroho, I., Dahuri, R. 2012. Pembangunan Wilayah; Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Penerbit LP3ES. Jakarta.
Nugroho, I. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Belajar. Yogyakarta.
Rais, J., Sulistiyo, B., Diamar, S., Gunawan., Sumampouw, M., Soeprapto, T. A., Shuardi, I., Widodo, M. S. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Rositasari, R. 2001. Indonesia Menuju Manajemen Wilayah Pesisir Terintegrasi. Oseana, ISSN 0216-1877. Volume XXVI, Nomor 2, 2001. Hal 25-34.
Satria, D. 2009. Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal Dalam Rangka Program Pengentasan Kemiskinan Di Wilayah Kabupaten Malang. Journal Of Indonesian Applied Economics. Vol.3 No.1 Mei 2009. Hal 37-47.
Setyadi, I. A., Hartoyo, Maulana, A., Muntasib. 2012. Strategi Pengembangan Ekowisata Di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Jurnal Manajemen & Agrobisnis, Vol. 9 No. 1 Maret 2012. 1-12
Shofwan., Khusaini, M., Badriyah N. 2008. Pengelolaan Potensi Sumberdaya Kelautan Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Nelayan (Studi Kasus Community-Based Management Wilayah Pesisir di Kabupaten Tuban. Journal Of Indonesian Applied Economics. Vol. 2 No. 1 Mei 2008, 102-112.
Sudirman, D. 2013. Kajian Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata Taman , Nasional Subangau. Jurnal Imu Sosial. Volume 5, No. 1, Februari 2013. 23-30.
Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati Di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Belajar. Yogyakarta. Hal 289.
Susilo, R. K. D. 2012. Sosiologi Lingkungan & Sumberdaya Alam Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutakhir. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta.
Sunyowati, D. Penataan Ruang Laut Berdasarkan Integrated Coastal Management. Mimbar Hukum Volume 20, Nomor 3, Oktober 2008, Halaman 411-588.
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir Dan Laut; Pendekatan Ekologi, Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional. Surabaya.
Wood. M. E. 2002. Ecotorism : Principles, Pratices and Politicies For Sustainability. United Nations Environment Programe (UNEP).
WWF-Indonesia. 2009. Prinsip Dan Kriteria Ekowisata Berbasis Masyarakat. Kerjasama Direktorat Produk Parawisata, Direktorat Jendral Pengembangan Destinasi Parawisata, Departemen Kebudayaan dan Parawisata dan WWF-Indonesia.