Minggu, 30 Juni 2013

Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu Berbasis Daya Dukung


Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.480 pulau yang terdiri dari sejumlah pulau besar dan lebih dari 1.000 pulau-pulau kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Adapun wilayah laut teritorial seluas 5,8 juta km2 atau sebesar 63% dari total wilayah teritorial Indonesia, dengan luas Zona Ekonomi Eksklusif 2,7 juta km2 dan garis pantai sepanjang 95.181 km (Numberi, 2009). Hal-hal tersebut menjadikan wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds). Menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut, menurut Supriharyono (2007) wilayah ini sangat produktif dengan keberadaan estuaria, hutan bakau, padang lamun serta terumbu karang, sehingga sedemikian panjangnya pantai Indonesia merupakan potensi sumberdaya alam yang besar untuk pembangunan ekonomi.
Keanekaragaman sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir, mengakibatkan wilayah ini umumnya merupakan pemusatan berbagai kegiatan pembangunan seperti pemukiman, pertambakan, tempat rekreasi, sarana penghubung dan sebagainya. Terdapat sebanyak 60% penduduk Indonesia diperkirakan tinggal dan hidup di wilayah pesisir (Supriharyono, 2002). Sejalan dengan pertambahan penduduk di Indonesia yaitu sebanyak 237.556.363 jiwa (BPS, 2010), tentunya memberikan tekanan yang besar kepada wilayah ini khususnya akibat aktivitas manusia.
            Dalam suatu wilayah pesisir suatu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami atau pun buatan (man-made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah : terumbu karang, hutan mangroves, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi bringtonia, estuari, laguna dan delta.  Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa : tambak, sawah pasang surut, kawasan parawisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman.
            Sumber daya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih dan tidak dapat pulih, sumber daya yang dapat pulih antara lain, meliputi sumber daya perikanan (planton, benthos, ikan, moluska, krustasea, mamalia laut), rumput laut (seaweed), padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sumberdaya yang tidak dapat pulih antara lain, mencakup: minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya.
            Dalam hal tersebut terkait pemanfaatan sumberdaya yang ada di pesisir serta berbagai aktivitas-aktivitas yang berlangsung diwilayah pesisir maka perlu adanya pengelolaan secara terpadu. Perencanaan secara terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terpogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi.
            Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berlanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengadung tiga dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.
Untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan perlu dilakukan penataan kawasan sesuai dengan kondisi sumberdaya alam, pola pemanfaatan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Upaya penataan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan tata ruang untuk keseluruhan wilayah. Pengelolaan lingkungan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil harus dirancang secara rasional dan bertanggungjawab sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan kawasan pesisir bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Ditinjau dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan dan status indonesia sebagai negara berkembang, PWPLT dalam konteks Indonesia sesungguhnya berada di persimpangan jalan. Indonesia masih memiliki banyak kawasan pesisir dan lautan dengan potensi pembangunan yang sangat besa, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Kondisi terutama dijumpai di kawasan timur Indonesia pembangunan. Berdasarkan karakteristik dan dinamika (the nature) dari kawasan pesisir dan lautan, potensi dan permasalahan, maka pencapaian pembangunan kawasan pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan tampaknya hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (PWPLT). Hal ini paling tidak berdasarkan pada empat alasan pokok :
1.      Secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional), baik antaraekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.
2.      Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda, sebagai petani tambak, petani rumput laut, pendamping parawisata, industri dan kerajinan rumah tangga dan sebagainya.
3.      Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.
4.      Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (singel use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha.

 Keunggulan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT)
Beberapa keunggulan (kelebihan atau manfaat) PWPLT jika dibandingkan dengan pendekatan secara sektoral (IPPC, 1994)
1.      PWPLT memberikan kesempatan kepada masyarakat pesisir untuk membangun sumber daya pesisir sacare berkesinambungan. Hanya pendekatan pengelolaan secara terpadu yang dapat mengatasi konflik pemanfaatan ruang dan sumber daya alam yang biasanya terjadi di kawasan pesisir.
2.      PWPLT memungkinkan untuk memasukan pertimbangan tentang kebutuhan serta aspirasi masyarakat terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan lautan baik sekarang maupun yang akan datang, PWPLT dapat meminimalkan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir dan lautan.
3.      PWPLT menyediakan kerangka (framework) yang dapat merespon segenap fluktuasi maupun ketidak-menentuan yang merupakan ciri khas dari ekosistem pesisir dan lautan
4.      PWPLTmembantu pemerintah daerah maupun pusat dengan suatu proses yang dapat menumbuhkembangkan pembangunan ekonomi serta peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
5.      Meskipun PWPLT memerlukan pengumpulan dan analisis data serta proses perencanaan yang lebih panjang dari pada pendekatan sektoral, tetapi secara keseluruhan akhirnya PWPLT lebih murah ketimbang pendekatan secara sektoral.

Permasalahan dan konflik diwilayah pesisir
Dalam perencanaan pengembang-an wilayah sering terlebih dahulu dlakukan delineasi wilayah (region) yang didalamnya terdapat kegiatan untuk menentukan batas-batas wilayah. Penentuan batas wilayah dengan memperhatikan terhadap konsep wilayah. Dalam kaitan ini, konsep wilayah lebih menekankan “wilayah” sebagai suatu alat (means) untuk suatu tujuan dibandingkan dengan tujuannya sendiri. Sebagai suatu konsep, dapat ditunjukkan dengan mengambil contoh konsep wilayah yang telah digunakan sebagai suatu metode klasifikasi melalui dua fase yang berbeda, yaitu dari fase yang merefleksikan kemajuan ekonomi dari suatu ekonomi agraris yang sederhana menuju suatu sistem perindustrian yang kompleks. Fase pertama memperlihatkan wilayah formal (menyangkut uniformitas, dan didefinisikan melalui homogenitas), sementara fase kedua menunjukkan perkembangannya sebagai wilayah fungsional (menyangkut interdependen, interrelationship dan didefinisikan berdasarkan hubungan internasional)
Wilayah pantai/pesisir mempunyai karakter yang spesifik. Wilayah ini merupakan agregasi dari berbagai komponen ekologi dan fisik yang saling terkait dan saling mempengaruhi, serta secara ekologis sangat rapuh. Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa pembangunan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip ekologi akan sangat mudah merusak proses atau berfungsinya ekosistem pantai.
Suatu ekosistem pantai adalah komposisi dari berbagai komponen (komponen ekologi dan biologi, serta lingkungan fisik pantai) serta interaksinya. Komponen ekologi dan biologi dari ekosistem pantai termasuk spesi binatang, tumbuhan dan organisme. Setiap spesi mempunyai peranan fungsi yang unik di dalam ekosistem pantai dan mempunyai habitat tertentu. Lingkungan fisik pantai meliputi perairan pantai, muara sungai, karang pantai. Interaksi antar komponen dari ekosistem pantai terjadi melalui pertukaran energi dan zat, yang dimulai dengan konservasi cahaya matahari, nutrien dasar, karbon dioksida dan mineral oleh tumbuhan (primary produsers) menjadi jaringan tumbuh-tumbuhan (plant tissues) yang merupakan bahan dasar makanan untuk binatang.
Beberapa komponen dari ekosistem pantai berfungsi sebagai unit yang menyimpan “energy supply”. Cadangan energi berfungsi menstabilisasikan ekosistem dan sebagai “buffer” terhadap kebutuhan energi yang besar yang terjadi pada musim atau periode waktu tertentu. Kombinasi dari masuknya air tawar ke perairan pantai, angin, ombak laut, temperatur, kekeruhan sangat mempengaruhi berfungsinya proses ekosistem pantai. Perubahan yang menonjol pada komponen dan rantai interaksi utama ekosistem pantai, terutama diakibatkan oleh proses pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam pantai, dapat mengakibatkan terganggunya proses dan integritas ekosistem yang selanjutnya menimbulkan degradasi lingkungan yang mengakibatkan kerugian pada masyarakat di wilayah pantai.
Tekanan yang keras dari proses pembangunan di wilayah pantai akan berakibat pada gangguan atau dampak yang merusak pada fungsi dan integritas dari ekosistem pantai. Akibat yang timbul adalah degradasi lingkungan dan menurunnya tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Upaya yang efektif untuk meminimalkan dampak negatif pembangunan ekonomi dan intergritas ekosistem pantai adalah menekankan usaha konservasi sumber daya alam pantai untuk menunjang pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan. Namun di dalam prakteknya, pendekatan pengelolaan tersebut tidak sepenuhnya fleksibel secara politis dan sukar dilaksanakan. Manfaat jangka pendek dari pembangunan ekonomi dan penggunaan sumber daya alam, pada kenyataannya, dibutuhkan di dalam pengembangan ekonomi dan perbaikan kondisi sosial masyarakat pantai. Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan praktis dari berbagai pandangan harus diupayakan untuk menyeleraskan kepentingan yang berorientasi jangka pendek dan jangka panjang.
Adanya kecenderungan yang nyata dari konflik antara pengguna/pemakai sumber daya alam pantai, pada prinsipnya karena masalah eksternalitas dan overuses. Masalah ekseternalitas adalah dampak yang terjadi pada pihak ketiga diluar proses transaksi ekonomi. Upaya untuk menginternalkan tersebut dapat dilakukan melalui biaya sosial (sosial cost) kedalam proses produksi (caranya dapat bermacam-macam, effluent charges, bargaining-negosiasi antar pihak ketiga dengan pihak pencemar lingkungan). Overuses terjadi karena setiap “user” berusaha memaksimalkan pengguna/ pemakai sumber daya alam. Konflik akibat eksternalitas dan overuses apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan menimbulkan menurunnya kualitas lingkungan. Konflik inipun akan menimbulkan golongan lemah akan semakin menderita dan selanjutnya tergusur dari wilayah pantai Problem dan konflik yang cenderung terjadi akibat adanya “multiple management entities” adalah fragmentasi di dalam pengambilan keputusan, duplikasi/overlapping kewenangan/yuridiksi adalah tidak efektif dan tidak efisien. Agar menjadi efektif dan efisien, maka problem tersebut harus dipecahkan. Konflik kadang mempunyai dampak positif di dalam merangsang kreatifitas pemecahan masalah di dalam managemen publik. Namun konflik kewenangan dan kepentingan yang berkepanjangan akan menghambat pencapaian tujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan wilayah dan ekosistem pantai.
Seperti halnya dikabupaten Indramayu dimana kegiatan manusia menjadi faktor penting terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove. Tindakan manusia seperti membuka lahan tambak yang melampaui batas daya dukung, maupun memanfaatkan tanaman mangrove secara berlebih tanpa melakukan rehabilitas akan menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem mangrove. Pola pemanfaatan lahan yang tidak ramah lingkungan juga akan mengancam keberadaan ekosistem hutan mangrove. Demikian pula pola pembangunan yang dijalankan di daerah akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya hutan mangrove. Pada saat ini ada indikasi bahwa kerusakan ekosistem hutan mangrove dan ancaman kepunahan spesies mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu semakin meningkat. Faktor penyebab kerusakan dan akar masalahnya cukup kompleks. Namun inti dari semua permasalahan degradasi hutan mangrove itu pada hakekatnya bersumber pada manusia berserta perilakunya dalam hal ini adalah masyarakat yang ada disekitarnya.
Dalam konteks sistem ekologi, wilayah pesisir dan laut memeliki produktivitas tinggi. Masalah yang biasa terjadi dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut berkaitan erat dengan perilaku masyarakat pengguna sumber daya ini hampir selalu dilandasi oleh kerangka pikir “open access”. Lebih lanjut, karena dalam kerangka pikir open access tidak memiliki arti kepimilikan sama sekal, pemanfaatan sumber daya pesisir cenderung untuk menjadi berlebih. Kerangka pikir open access ini menyebabkan tidak seimbangnya laju pemanfaatan dan laju pemulihan sumber daya tersebut. Dengan demikian dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan diperlukan upaya terpadu yang memperhatikan daya dukung lingkungan.
Untuk diketahui, aktivitas-aktivitas manusia, dalam rangka memanfaatkan sumberdaya alam, didaerah pantai banyak yang menggunakan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan, seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun (KCN). Penangkapan ini biasanya dilakukan didaerah karang. Selain membunuh ikan-ikan sasaran, praktek penangkapan dengan cara ini juga merusak ekosistem sumberdaya terumbu karang. Disamping itu, masih banyak praktek-praktek lain yang menyokong semakin rusak terumbu karang, misalnya pengambilan karang, baik yang mati (untuk bahan bangunan) maupun yang hidup (untuk hiasan aquarium) dan aktivitas lainnya baik yang ada didaratan maupun dilaut, seperti penggundulan hutan, industrialisasi, pelabuhan, pertambangan, pelayaran dan parawisata dapat membahayakan ekosistem wilayah pesisir.

Pendekatan Perencanaan Pengembangan Pesisir
Banyak yang berpendapat bahwa pengelolaan wilayah pantai secara terpadu (Intergrated Coastal Zone Management) merupakan kunci bagi pemecahan problem dan konflik di wilayah pantai yang sangat pelik dan kompleks. Keterpaduan di dalam manajemen publik dapat didefinisikan sebagai penentuan goals dan objektif secara simultan, melakukan secara bersama-sama pengumpulan informasi, perencanaan dan analisis secara kolektif, penggunaan secara bersama-sama perangkat/ instrumen pengelolaan. Pada kenyataannya, integrasi yang bersifat ideal sebagaimana dikemukakan di atas tidak pernah akan dapat terjadi atau dilakukan. Di dalam praktek integritasi ini biasanya merupakan upaya koordinasi antara berbagai enstitusi/lembaga terkait untuk menyelaraskan berbagai kepentingan, prioritas dan tindakan. Usaha untuk melakukan koordinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme, prosedur dan rencana. Dengan demikian, rencana wilayah pantai terpadu disamping berfungsi sebagai arahan bagi pengembangan, strategi yang dilakukan dan tindakan yang akan dilaksanakan, juga berfungsi sebagai instrumen koordinasi.
Konsepsi pengembangan wilayah dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan dan selalu terdapat isue-isue yang lebih menonjol tergantung dari kondisi wilayah pesisir bersangkutan. Pendekatan-pendekatan ini meliputi : (1) pendekatan ekologis; (2) pendekatan fungsional/ ekonomi; (3) pendekatan sosio-politik; (4) pendekatan behavioral dan kultural. Pendekatan ekologis menekankan pada tinjauan ruang wilayah sebagai kesatuan ekosistem. Pendekatan ini sangat efektif untuk mengkaji dampak suatu pembangunan secara ekologis, akan tetapi kecenderungan mengesampingkan dimensi sosial, ekonomis dan politis dari ruang wilayah. Pendekatan fungsional ekonomi, menekankan pada ruang wilayah sebagai wadah fungsional berbagai kegiatan, dimana faktor jarak atau lokasi menjadi penting. Pendekatan sosial politis, menekankan pada aspek “penguasaan” wilayah. Pendekatan ini melihat wilayah tidak saja dilihat dari berbagai sarana produksi namun juga sebagai sarana untuk mengakumulasikan power. Konflik-konflik yang terjadi dilihat sebagai konflik yang terjadi antar kelompok. Pendekatan ini juga melihat wilayah sebagai teritorial, yakni mengaitkan ruang-ruang bagian wilayah tertentu dengan satuan-satuan organisasi tertentu. Pendekatan behavioral dan kultural, menekankan pada keterkaitan antara wilayah dengan manusia dan masyarakat yang menghuni atau memanfaatkan ruang wilayah tersebut. Pendekatan ini menekankan perlunya memahami perilaku manusia dan masyarakat dalam pengembangan wilayah. Pendekatan ini melihat aspek-aspek norma, kultur, psikologi masyarakat yang berbeda akan menghasilkan konsepsi wilayah yang berbeda.
Disamping pendekatan-pendekatan yang bersifat substansial seperti diatas, terdapat beberapa pendekatan yang bersifat instrumental. Pendekatan instrumental ini dapat dikategorikan dalam 4 (empat) kelompok besar, yaitu (1) instrumen hukum dan peraturan; (2) instrumen ekonomi; (3) instrumen program dan proyek; dan (4) instumen alternatif.
Instrumen hukum dan peraturan mempunyai konsep atau ide dasar adanya hukum dan peraturan beserta penegakannya. Instrumen ini antara lain berupa hukum dan peraturan-peraturan seperti ijin lokasi, ijin bangunan, AMDAL dan sebagainya. Instrumen ekonomi mempunyai konsep atau ide dasar adanya pengaruh ekonomi pasar yang sangat signifikan terhadap pengembangan wilayah. Contoh dari penerapan instrumen ini adalah adanya penerapan pajak, retribusi serta insentif dan disinsentif yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Instrumen program dan proyek khususnya yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah didasari atas konsep atau ide dasar pada kebutuhan-kebutuhan dasar dan kepentingan masyarakat luas. Penerapan instrumen ini seperti pembangunan sarana dan prasarana wilayah dan sejenisnya. Instrumen alternatif berdasarkan konsep atau ide dasar adanya pemberdayaan masyarakat dari kemitraan. Contoh-contoh dari penerapan instrumen ini antara lain meliputi pelatihan, pendidikan, partisipasi masyarakat, adanya proyek-proyek percontohan, penghargaaan kepada pelaku masyarakat dan swasta atau pelaku pembangunan lainnya.

 Proses Perencanaan
Proses dan langkah-langkah ini secara sederhana dapat diperlihatkan sebagai Proses Perencanaan – Implementasi – Evaluasi Kawasan Pesisir Pantai. Penyusunan rencana, pada umunya dirangsang oleh adanya problem dan konflik yang kritis diwilayah pantai. Hal ini menimbulkan kesadaran akan perlunya perencanaan wilayah pantai terpadu. Keadaan ini, dilanjutkan dengan inisiatif dari pihak pemerintah daerah maupun pusat untuk melakukan persiapan penyusunan rencana. Proses perencanaan ini bersifat iteratif dan memungkinkan adanya umpan balik ganda (multiple feedback).
Proses dan langkah-langkah dasar dalam perencanaan dapat ditunjukkan seperti gambar dibawah yang terdiri dari 6 langkah yaitu: definisi problem, menetapkan kriteria evaluasi, identifikasi alternatif-alternatif, evaluasi alternatif-alternatif, pembandingan alternatif-alternatif, dan penilaian out-come. Hal yang demikian adalah merupakan langkah-langkah umum dalam proses, dan tiap langkah dapat dijabarkan ke dalam komponen yang lebih detail. Perlu diketahui bahwa dalam perencanaan, para perencana boleh jadi menggunakan bermacam jalur, dikarena-kan perbedaan dalam training, waktu yang tersedia untuk analisis, kompleksitas problem, sumber-daya yang tersedia, dan afiliasi organisasional.




Langkah pertama (mendefinisikan problem) adalah usaha mengetahui posisi-posisi dan pengaruh dari berbagai individu-individu dan kelompok-kelompok. Sehingga seorang perencana mesti bertanya. Siapa yang berkepentingan terhadap problem? Mengapa? Apa saja persoalan mereka? Kekuasaan apa yang dipunyai untuk mempengaruhi keputusan kebijakan?
Tantangan dalam langkah ini adalah menyatakan problem dengan penuh makna, menghilangkan materi-materi yang tidak relevan, menyatakannya dengan angka-angka, berfokus pada sentral. Faktor-faktor yang kritis, dan mendefinisikan problem dengan cara menghilangkan hal-hal yang bersifat ambigius. Setelah usaha ini, akan diketahui apakah terdapat problem yang dapat diselesaikan, apakah mampu untuk mengembangkan problem dengan statemen yang detail, dan apakah mampu untuk mengestimasi waktu dan sumberdaya bagi analisis yang diperlukan
Langkah kedua (penetapan kriteria evaluasi), perlu diketahui kapan suatu problem diselesaikan atau kapan kebijakan yang tepat atau yang bersifat dapat diterima diidentifikasi? Bagaimana kebijakan-kebijakan yang mungkin ada akan diperbandingkan? Apakah kebijakkan yang diusulkan akan mempunyai bermacam dampak dan mempengaruhi kelompok-kelompok yang berbeda? Kebijakan-kebijakan akan diterima oleh kelompok satu, akan tetapi kemungkinan ditolak oleh kelompok lain, atau malah membahayakan kepada kelompok lain.
Langkah ketiga (identifikasi kebijak-an alternatif) dalam proses, perencana harus mengetahui nilai-nilai, tujuan, dan sasaran-sasaran yang tidak saja bagi pihak-pihak tertentu, namun juga kepada seluruh pihak yang terlibat. Identifikasi terhadap kriteria adalah digunakan untuk pertimbangan alternatif-alternatif dan membantu untuk membuat kebijakan alternatif.
Langkah keempat (evaluasi kebijak-an-kebijakan alternatif) dalam proses adalah evaluasi kebijakan alternatif dan paket-paket kebijakan ke dalam strategi dan program. Apa saja dampak-dampak yang diharapkan dari masing-masing kebijakan? Seberapa jauh masing-masing kebijakan memenuhi kriteria evaluasi? Kegiatan evaluasi ini dapat mengungkap alternatif-alternatif yang memenuhi sebagian besar atau seluruh kriteria umum, dan dapat pula mengungkap hal-hal lain yang dapat dibuang dengan sedikit analisis tambahan. Beberapa alternatif butuh eksaminasi lebih lanjut. Data tambahan mungkin harus dikumpulkan. Selama tahap ini adalah merupakan hal penting bagi seorang analisis untuk memeriksa perbedaan antara kelayakan ekonomi atau kelayakan teknis dengan alternatif yang acceptable secara politis. Formulasi kebijakan – desain dan evaluasi alternatif atau pilihan kebijakan – dimaksudkan pada pendefinisian problem secara tepat dan menemukan solusi-solusi yang layak dan efektif. Apakah solusi-solusi ini dapat diimplementasikan adalah merupakan pertanyaan politis esensial.

 Kegiatan pengelolaan, manfaat dan dampaknya
1. Rencana pengelolaan perikanan dan partispasi masyarakat.
Aktivitas penyusunan rencana pengelolaan perikanan pantai (management plant) didahului dengan elaborasi data base tentang kondisi sumberdaya ikan dan habitat (ekologi) melalui suatu kajian tentang Resource Ecological Assessment (REA), serta kondisi sosial ekonomi masyarakat melalui kajian Socioeconomic Assessment (SEA). Kajian REA memberikan informasi tentang tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan utamanya jenis ekonomis penting, kondisi habitat ikan dan utamanya jenis ekonomis penting, kondisi habitat ikan dan issu/permasalahan yang terjadi dalam konteks pemanfaatan sumberdaya ikan. Selanjutnya SEA memberikan informasi tentang tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan keluarganya.
Informasi yang terangkum dalam REA selanjutnya dipergunaakan untuk menyusun Rencana Perikanan Pantai (Management Plan) yang bersifat umum dan rangkain Rencana Aksi (Action Plan) yang merupakan rangkaian rencana aksi. Rencana ini disusun berdasarkan prioritas issu (issu spesifik) di masing-masing lokasi proyek yang perlu mendapat pengelolaan segera.
Issu spesifik merupakan rangkaian masalah dalam bidang pengelolaan sumberdaya perikanan pantai. Dari hasil kegiatan diperoleh tentang sulitnya penegakan hukum positip untuk mengatasi masalah tersebut, mengingat lokasi kejadian berada dilaut. Misalnya konflik antara nelayan rawai dan nelayan gillnet dasar di Bengkalis telah berlangsung menahun tanpa adanya indikasi penyelesaian yang jelas dan dapat diterima oleh kedua berlah pihak. Demikan pulanya halnya dengan kegiatan penangkapan ikan dengan bahan peledak dan atau racun telah berlangsung cukup lama dan telah menghancurkan terumbu karang serta keanekaragamannya. Oleh karenanya penyusunan rencana aksi (action plan) bertumpu pada masalah yang dihadapi bersama menjadi sangat penting dan kalau tidak maka hal tersebut akan mengancam masa depan nelayan dan keluarganya.
Disadari bahwa syarat dasar rencana aksi yang baik adalah diterima oleh unsur stakeholder dan dapat dilaksanakan, sehingga aktivitas analisa stakeholder dilakukan secara simultan dengan penyusunan rencana aksi. Analisa stakeholder dimaksud untuk mengetahui pihak yang terkait dengan masalah pengelolaan perikanan pantai, dan mengajak mereka untuk berpartisipasi aktif menyusun strategi pemecahan masalah demi kepentingan bersama dalam jangka panjang.
Aktivitas analisa stakeholder telah berhasil membentuk organisasi masyarakat berupa Pengelola Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas di Tegal, bayuwangi yang cukup dikenal dengan nama PSBK. Dari sisi kepentingan pemerintah telah dibentuk Komite Penasehat Perikanan Kabupaten/Kota (KPPK). Untuk mengkristalisasi keterwakilan masyarakat dalam kelompok tersebut tersebut, maka sebelum pengesahan pembentukannya, dilakukan validasi secara bertahap oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan telah berhasil disepakati dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan Pantai (Management Plan) yang memuat daftar issu yang perlu dikelola, dan dokumen Rencana Aksi (Action Plan) yang merupakan rencana tidak lanjut pemecahan issu prioritas dalam prioritas dalam kerangka pengelolaan sumberdaya perikanan pantai secara berkelanjutan.
1.      Resolusi Konflik dan Penghentian Penangkapan Ikan yang Merusak
Rencana aksi mengenai resolusi konflik memuat kesepakatan para pihak yang terlibat dalam konflik. Kesepakatan tersebut dibangun melalui proses konsultasi dan negoisasi yang dilakukan secara dengan para pihak, difasilitasi oleh lembaga Swadaya Masyarakat, dihadiri oleh pihak keamanan (TNI-AL, Polri), tokoh masyarakat, PSBK, KKPK serta Dinas Perikanan Propinsi Propinsi dan Kabupaten/Kota.
 Kesepakatan tersebut memuat hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para pihak, termaksud rincian sangsi. Misalnya di Bengkalis terdapat kesepakatan pembagian daerah penangkapan yakni rawai dasar beroperasi di perairan 0-12 mil, sedangkan jaring batu hanya dapat beroperasi di perairan > 6 mil. Untuk menghindari terbelitnya rawai dasar pada jaring batu diperairan > 6 mil, maka nelayan rawai dasar mempunyai kewajiban melakukan pengamatan secara cermat, sebelum melakukan setting alat tangkap.
Implementasi dan penegakan kesepakatan tersebut di tingkat lapangan bertumpu pada komitmen nelayan (para pihak).  Bilamana terdapat indikasi pelanggaran oleh nelayan, maka pihak saksi (pihak yang melihat) hanya boleh mencatat identitas dan ciri-ciri kapal dan selanjutnya dilaporkan kepada PSBK untuk proses penyelesaian lebih lanjut. Untuk menghindari konflik fisik dilaut maka pihak saksi tidak diperkenankan melakukan tindakan fisik berupa pelanggaran atau pencegahan atau tindakan fisik lainnya. Dengan mekanisme tersebut, ternyata frekwensi konflik baik di Bengkalis maupun Tegal menurun secara signifikan bahkan ditenggarai issu konflik telah dapat diselesaikan oleh nelayan secara mandiri tanpa melibatkan pihak lain.
Kondisi demikian membawa dampak positip bagi kehidupan nelayan dan keluarganya berupa hilangnnya rasa takut pada saat mencari nafkah kehidupan (menangkap ikan), sehingga operasi penangkapan ikan tidak lagi harus dilakukan secara berkelompok. Rasa aman saat menangkap ikan juga berpengaruh terhadap jumlah dan kwalitas hasil tangkapan.
Dampak lain yang juga dirasakan yaitu berupa terjadinya perbaikan kondisi lingkungan perairan. Hal ini dibuktikan dengan berkembangbiaknya kembali benih lobster dan rumput laut secara alami di Teluk Ekas (Lombok Timur), sedangkan di Banyuwangi ditemukannya kembali ikan lemuru yang telah lama hilang dari teluk Pampang.
2.      Fish Sanctuary dan Terumbu Karang Buatan
Ikan adalah sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resource) baik secara alami maupun dengan rekayasa teknologi. Ikan tidak mampu menciptakan ruang dan waktu tersebut sekalipun hanya untuk mempertahankan hidupnya, tapi selalu tergantung pada kondisi ekosistem pada suatu kawasan uang sangat tergantung pada aktivitas manusia. Fish Sanctuary adalah suatu ruang atau kawasan habitat ikan yang disepakati untuk dilindungi bersama, sehingga kawasan ini dapat menopang kelestarian keanekaragaman hayati. Dalam hal penentuan lokasi fish sanctuary, identifikasi dilakukan secara akademis oleh para pakar perikanan termaksud kajian praktis dengan memadukan parameter ilmiah dan pengalaman nelayan serta advokasi Lembaga Swadaya Masyarakat. Proses ini memerlukan enerji dan waktu yang cukup signifikan mengingat hetergensi latar belakang berbagai pihak yang harus diajak berdiskusi dan bersepakat.
Fish sanctuary dideskripsikan denga baik dan jelas antara meliputi :
·         Fungsi dan manfaat
·         Luasan dan batas-batas serta tanda (marking)
·         Gugus tugas uyang bersedia secara sukarela mengamati dan melindungi kawasan tersebut
·         Hal-hal yang dapat dan tidak dilakukan
·         Monitoring dan Evaluasi
·         Rencana aksi pemulihan kenakeragaman hayati pada kawasan tersebut.
Rencana aksi pemulihan keanekaragaman hayati di kawsan tersebut dimulai denga terhabilitas terumbu karang yang berfungsi sebagai rumah ikan, mengingat tanpa rumahayang nyaman akan sulit rasanya ikan dapat berkembang biak dengan baik. Konstruksi terumbu karang buatan (TKB) terdiri dari beton reef ball berbentuk prisma.  Dampak dari pembangunan terumbu karang buatan telah menghasilkan peningkatan keanekaragaman hayati.
1.4. Rehabilitas dan Pengelolaan Hutan Bakau
Mangrove atau bakau adalah tumbuhan yang hidup antara daratan dan lautan di sepanjang pantai. Secara ekologis, hutan bakau berfungsi sebagai daerah pembesaran (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Oleh karenanya, fungsi hutan bakau dalam memelihara kestabilan ekosistem pada suatu kawasan sangatlah penting, dan oleh karenanya pengelolaan hutan bakau perlu dilakukan secara baik agar dapat menopang kehidupan nelayan dan keluarganya.
Ironisnya penebangan hutan bakau berjalan tanpa aturan, seolah-olah tanaman tersebut tidak bermanfaat untuk kestabilan ekosistem yang sangat penting untuk kenyamanan hidup manusia. Tidak heran kalau di beberapa daerah telah terjadi abrasi sangat menghawatirkan seperti di Meskom, Muntai dan Pampang (Bengkalis) abrasi 5-10 meter pertahun. Hal ini telah menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat karena banyak rumah mereka yang telah hilang serta lahan usaha berupa tambak hilang ditelan abrasi.
Untuk memantapkan keberhasilan rehabilitas hutan bakau, tahapan kegiatan dilakukan dengan mengadopsi kaidah pendekatan partisipatif. Pengkajian dimulai dengan kegiatan indentifikasi kawasan bakau yang dilakukan bersama pihak Lembaga Swadaya Masyarakat. Hasil kajian disajikan dalam bentuk kawasan bakau yang dilakukan bersama pihak Lembaga Swadaya Masyarakat.
            Hasil kajian disajikan dalam bentuk pemetaan kondisi dalam bentuk pemetaan kondisi kawasan hutan bakau dengan klasifikasi baik, sedang dan rusak serta perlu segera mendapat penanganan. Pemetaan ini mencakup luas dan jenis bakau yang  direkomendasikan untuk ditanam kembali. Selanjutnya hasil pemetaan ini diserahkan  kepada instansi terkait melalui pemerintah daerah kabupaten/kota dan PSBK sebagai perwakilan masyarakat. Sebelum aksi tanam bakau dilaksanakan masyarakat diajak untuk membangun kesepakatan tertulis tentang perlindungan hutan bakau.
            Aktivitas rehabilitas hutan bakau ini telah menunjukan indikasi dampak positip berupa kembalinya kawanan burung laut ke kawasan bakau dan meningkatnya hasil tangkapan sero menjadi 8-10 kg/hari (bayuwangi). Di pihak lain, pemerintah daerah juga memberikan respon positip dalam bentuk menjadikan penanaman bakau sebagai salah satu issu pembangunan daerah, bahkan di Tegal telah dilaksanakan penanaman hutan bakau.









Daftar Pustaka

Basuki dan Djunaedi. 2002.  Perencanaan Pengembangan Kawasan Pesisir. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol 3, No 3, September 2002: 225-231
Dahuri, Rokhmin. dkk. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Gumilar,Iwang. 2012. Partisipasi Masyarakat Pesisir Dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Berkelanjutan Di Kabupaten Indramayu. Jurnal Akuatika Vol III No 2/September 2012 (198-211) ISSN 0853-2523
Rais, Jakub, dkk. 1987. Menata Ruang Laut Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. 69-70p  
Riyadi. 2008. Kebijakan Wilayah Pembangunan Pesisir Sebagai Alternatif Pembangunan Indoensia Masa Depan. http:www.bappenas.go.id/get-file-server/node/3007/
Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberday Hayati. Pustaka pelajar. Yogyakarta. 228-229p
Sularso, Aji. dkk. 2003. Meraih Masa Depan “Biru Lautku Sejahtera Rakyatku”. Proyek COFISH. Jakarta. 14-27p

PERENCANAAN DAN PENGELOLAAN TELUK MANADO SECARA TERPADU

Dalam perencanaan dan pengelolaan teluk manado perlu adanya konsep pengelolaan secara terpadu antar sektor. Semua dampak-dampak dari kegiatan yang didarat dapat menyebabkan kerusakan ekosistem maupun hilangnya fungsi dari keberadaan teluk tersebut.  Kegiatan-kegiatan tersebut yaitu meliputi adanya pembangunan di sekitar Teluk Manado misalnya adanya reklamasi pantai untuk kepentingan pembangunan mall ataupun pertokoan, parawisata, pelabuhan dan pemukiman, selain itu kita juga kita harus melihat dampak dari aliran DAS yang bermuara di Teluk Manado.  Artinya dalam mengelola kita perlu suatu perencanaan dengan menelusuri dari dampak dari beberapa sektor.
Perlu adanya keterpaduan dalam merencanakan dan mengelola teluk manado karena melihat permasalahan diatas dimana adanya keterkaitan antar sektor yang bisa mempengaruhi kondisi Teluk Manado. Dalam membuat suatu perencanaan harus mengidentifikasi masalah-masalah yang terjadi di bagian hulu, yaitu kegiatan apa saja yang terjadi di darat. Misalnya pada DAS, aliran sungai sangat mempengaruhi ekosistem yang ada diperairan. Aktivitas pertanian berupa penyemprotan pestisida pada padi. Buangan pestisida tersebut melalui saluran drainase mengalir ke sungai dan menuju ke daerah pesisir bisa memberikan dampak pada ekosistem perairan. Selain itu juga akitivitas pertanian bisa meningkatkan jumlah sedimentasi. Meningkatnya jumlah sedimentasi bukan saja bisa terjadi karena adanya aktivitas pertanian tapi juga oleh aktivitas penebangan hutan maupun pertambangan yang menyebabkan laju erosi tanah. Selain itu juga yang mejadi permasalahan adanya pembuangan sampah pada sungai. Sungai menjadi alternatif utama bagi pemukiman yang lokasinya tidak jauh dari sungai sebagai tempat untuk menjadikannya tempat pembuangan sampah. Akibatnya daerah pesisir di pantai Malalayang banyaknya sampah sampah yang berserakan.
Selain itu juga akitivitas masyarakat kota (urban) memberikan sumbangsi terbesar dalam pencemaran. Yaitu sampah-sampah padat rumah tangga  yang begitu banyak banyak dan sulit terkontrol akibat berkembang pesatnya daerah pemukiman. Sampah padat ini yaitu berupa tinja atau cairan rumah tangga yang bisa menyebabkan timbuylnya bakteri atapun parasit yang bisa menjadi racun bagi ikan ikan yang berada di perairan.
Selanjutnya kegitan pembangunan yang lagi tren sekarang ini di Teluk Manado adalah reklamasi pantai. Daerah reklamasi menjadi lahan usaha berupa mall dan pertokoan. Hal ini mungkin disebabkan karena biaya investasi untuk reklamasi lebih rendah dibandingkan dengan pembebasan lahan dipemukiman yang ada. Dampak reklamasi yaitu hilangnya potensi sumberdaya hayati di perairan tersebut dengan rusaknya fungsi dari ekositem-ekositem yang saling keterkaitan.
 Banyaknya permasalahan yang terjadi oleh kegiatan didarat maupun di sekitar teluk manado yang memberikan dampak keberlanjutan akan keberadaan ekosistem di Teluk Manado mengharuskan kita melakukan suatu perencanaan dan pengelolaan secara terpadu untuk keberlanjutan aspek-aspek penting yang berada di Teluk Manado. Seperti yang diurairakan diatas, pengelolaan teluk manado bukan hanya melihat akitvitas yang terjadi disekitr Teluk tapi juga melihat lebih jauh lagi aktivitas yang terjadi didarat.
Perencanaan dan pengelolaan secara terpadu untuk teluk Manado meliputi beberapa aspek
a)  Bagaimana mengatur sistem drainaese?
Pengaturan drainase aliran sungai di sekitar DAS Tondano sangatlah penting, mengingat banyaknya partikel yang masuk ke perairan pantai melalui sungai. Biasanya memasang talut dan boronjo pada daerah sungai sehingga mengurangi erosi tanah dan sedimentesi, juga pengaturan drainase harus di tata kembali sehingga debit air dapat teraliri dengan baik, dan tidak menyebabkan banyaknya genangan disaat musim hujan.
b)  Bagaimana menanggulangi dampak akibat aktivitas pertanian maupun pertambangan?
Banyaknya akitivitas pertanian dan pertambangan sangat mempengaruhi kondisi perairan seperti yang telah dijelaskan diatas, yaitu meminimbulkan jumlah sedimentasi yang tinggi, erosi tanah, maupun pencemaran akibat penggunaan pestisida. Ini perlu adanya keterlibatan pihak pemerintah dalam pelaksanaannya. Dimana pemerintah menghimbau agar mengatur sistem perairan persawahan dan juga jumlah pestida yang digunakan. Dalam hal pertambangan juga pemerintah ataupun instansi terkait melakukan pengawasan dalam hal izin dan pemanfaatan hasil tambang.
c)  Bagaimana mengurangi pecemaran dari limbah rumah tangga ?
Pengelolaan ini juga melibatkan pemerintah ataupun instansi terkait dan masyarakat kota, khususnya masyarakat yang tinggal di dekat sungai. Dimana pemerintah menghimbau masyarakat untuk tidak membuang sampah maupun kotoran di sungai . juga pemerintah mengimbau agar limbah yang dibuang harus melewati pengolahan limbah sebelum dibaung kelaut , misalnya di buat saringan dimuara sungai
d)  Bagaimana menanggulangi dampak reklamasi di sekitar Pesisir Teluk Manado ?
Akibat dari reklamasi maka terjadi perubahan fungsi lahan. Lahan yang sebelumnya menjadi tempat mata pencaharian nelayan maupun tempat berlindungnya ikan-ikan berubah menjadi pusat pertokoan dan aktivitas lainnya. Untuk itu pengelolaannya berupa :
-          Perlu adanya rehabilitas mangrove, yang rusak akibat reklamasi
-          Adanya DPL didasari dengan penguatan hukum dari pemerintah
-          Adanya perencanaan tata ruang agar tidak semua kawasan pesisir di Teluk Manado di reklamasi, pusat perekonomian dan dan perdagangan jangan seluruhnya terpusat di kawasan konservasi, untuk mengurangi sumberdaya pesisir
-          Membentuk zonasi terhadap perlindungan sumberdaya pesisir di Teluk Manado, sesuai dengan peruntukannya.  Misalnya zonasi untuk penangkapan, zonasi untuk budidaya, parawisata bahari dll.
e)  Bagaimana mengupayakan perlindungan dan pemanfaatan terhadap ekosistem di Teluk Manado ?
Hal ini sangat terkait dengan keadaan ekonomi masyarakat disektar pesisir teluk manado. Dalam pengelolaannya dibutuhkan keterkaitan maupun kerja sama antar sektor, baik sektor pemerintah maupun masyarakat sekitarnya (nelayan). Hal yang dibuthkan yaitu pengelolaan berbasis masyarakat. Dimana masyarakat yang mengelola sekaligus memanfaatkan potensi disekitar Teluk Manado. Sehingga mereka dapat menyadari pentingnya kelestarian, sehingga ekosistem tersebut tetap terjaga.

RIWAYAT POLUTAN (FATE OF POLLUTANT)


RIWAYAT POLUTAN (FATE OF POLLUTANT)

Identifikasi dampak dari kegiatan di daerah pesisir


Identifikasi dampak dari kegiatan di daerah pesisir

1.      Tekanan oleh aktivitas di daerah pesisir dari ketidaksesuaian
Tingginya pertumbuhan penduduk membawa banyak masalah di daerah pesisir. Penyebab utamanya yaitu : 1) pada umumnya pertumbuhan populasi dalam pembangunan, oleh adanya migrasi (desa ke kota), 2) adanya keuntungan oleh para migrasi yang berhubungan dengan ekonomi, sosial dan yang berkaitan dengan parawisata(rekreasi). Adanya pemanfaatan sumberdaya pesisir dalam memenuhi kebutuhan manusia. Penggunaan atau pemanfaatan sumberdaya pesisir secara intensif dan secara meningkat merupakan dampak dari aktivitas manusia. Sejak adanya aktivitas didaerah pesisir merupakan masalah yang dihadapi.  Aktivitas tersebut tersebut berupa perkembangan masyarakat kota, pembangunan industri, pembuanganm, pelabuhan dan transportasi didaerah laut, lahan transportasi untuk infrakstruktur, lahan budidaya di pesisir, turis dan rekreasi, pengelolaan DAS, dan pertahan nasional.  Akitivitas tersebut menjadi pertimbangan sebagai dampak dari tekanan dipesisir sejak kegiatan tersebut memberikan dampak terhadap sumberdaya. Contohnya : adanya pemanfaatan terhadap sumberdaya ikan, adanya pembuangan bahan pencemar dan lainnya.
a.      Pemukiman masyarakat kota
Dampak dari pemukiman masyarakat kota disekitar pantai menghasilkan tumpukan sampah dan limbah kimia dalam jumlah besar. Sekitar 30-60% dari penduduk perkotaan dinegara berpenghasilan rendah belum memiliki perumahan yang layak dengan fasilitas sanitasim sistem drainase dan insttalasi pipa air bersih. Ekosistem yang berada didaerah pantai akan mengalami kerusakan akibat aktivitas dari pemukiman. Pengelolaan limbah dan air bersih sebagai memproduksi tenaga listrik dan kegunaan lainnya menambah tekanan terhadap sumberdaya  yang tersedia. Pembangkit tenaga listrik memerlukan sejumlah air laut untuk mendinginkan dan mengeluarkan sejumlah air panas (buangan) di daerah pesisir menyebabkan kematian organisme maupun ikan kecil.
b.      Pelabuhan dan transportasi laut :
Dampak yang ditimbulkan : 1) kerusakan lahan mangrove akibat tumpahan minyak 2) pengerukan untuk pembuangan akbiat dari aktivitas insutri perkapalan seperti pembuatan saluran untuk pembuangan, fasilitas, galangan kapal dan tempat pendaratan untuk kapal kontainer. 3) adanya pelabuhan sebagai tempat rekrasi dan tempat perahu kecil yang dapat mengganggu didaerah pesisir
c.       Infrastruktur untuk transportasi darat.
Infrastruktur seperti jalan raya, jembatan, bandara dapat menimbulkan dampak disepanjang pantai. Karena konstruksi sering mencemari laut dan menghambat aliran air yang mengalir sacara alami.
d.      Kegiatan Budidaya
Kegaitan budidaya didaerah pesisir seperti penggunaan lahan pesisir untuk pertambakan (misalnya : tambak udang). Dan kegiatan disektor ini cepat berkembang didaerah pesisir. Dimana dengan penggunaan air bersih diperlukan dalam kegiatan budidaya, yang ternyata dapat mencemari lingkungan. Kegiatan budidaya juga menimbulkan kekhawatiran terhadap perikanan tangkap, kualitas tanah dan air.
e.      Penggunaan lahan untuk pertanian.
Dampak dari kegiatan ini berupa menyebabkan adanya asam sulfat akibat genangan air dan memiliki efek samping bagi ekosistem akibat polusi dari pelepasan bahan kimia untuk kegiatan pertanian.
f.        Parawisata dan rekreasi.
Beberapa kegiatan parawisata menimbulkan kekhawatriran terhadap sumberdaya pesisir terutama karang dan mangrov. Beberapa masalah yang dihadapi dalam pembangunan resort untuk perawisata seperti (Brown (1997):
-          Konversi lahan kawasan mangrov menjadi lahan kering dengan menebang
-          Masuknya sedimentasi dari hasil pengerukan dari lahan atas
-          Adanya pembangunan jalan yang menghalangi masuknya air tawar dan air laut
-          Adanya konstruksi untuk pembuangan sebagai berdampak pada pembuangan limbah dan polutan
-          Konversi lahan mangrov untuk lahan baru, seperti rumah ,sawah dan perikanan.
-          Mangrove diambil untuk dijadikan bahan sovenir yang dijual kepada wisatawan
g.      Pengelolaan DAS
Pengelolaan daerah aliran sungai adalah contoh yang sangat baik dalam bentuk manajemen, yang sampai saat ini diperhitungkan sangat sedikit dampak terjadi di daerah aliran sungai yang mempengaruhi wilayah pesisir. Ini termaksud peningkata aliran run-off, pengurangan resapan air tanah, dan sedimentasi yang meningkat disungai, danau dan waduk.
h.      Keamanan Nasional
Kegiatan tersebut berupa adanya penetapan zona perbatasan. Dampak negatif dari adanya pembangunan tempat pelabuhan laut, bandara udara di peeisisr. Sehingga dalam peruntukannya militer dapat diharapkan untuk bekerja sama dalam konservasi wilayah pesisir dengan konsep ICZM.
2.      Tekanan yang menyebabkan polusi
Kegiatan yang tidak sesuai/merusak dapat menyebabkan jumlah polusi menjadi meningkat, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pesatnya pertumbuhan pusat-pusat kota dengan menigkatkan investasi di bidang pertania dan industri, adanya pembuangan limbah oleh manusia dan dari hasil industri. Pencemaran di daerah pesisir sangat mengurangi produksi ikan, degradasi lahan, dan beberapak kegiatan di daerah pesisir (perikanan dan budidaya, pertanian, industri, parawisata, dan pemukiman) dapat memberikan dampak ke daerah pesisir.


Sumber :

Lasut M.T. 2002. Environmental Management of Coastal Zone. Sam Ratulangi Universty. Manado

ICZM (Integrated Coastal Zone Management)

Negara
Masalah/isu di Wilayah Pesisir
Konsep ICZM
Jerman
Pemanfaatan sumber daya pesisir :
·   Konversi lahan untuk pertanian
·   Parawisata
·   Jalur akses pelabuhan
·   Pembanguan dan infrastruktur
·   Tempat militer

·   Penekanan terhadap isu – isu untuk di identifikasi
·   Pemantauan yang komperehensif secara terus menerus
·   Pertimbangan dan komunikasi antara sektor
·   Adanya perangkat hukum dan tindakan hukum dalam pengembangan wilayah pesisir
Ghana
·  Peningkatan urbanisasi
·  Pembangunan pelabuhan utama di Tema dan Takoradi
·  Kegiatan infrastruktur, industrialisasi
·  Sebagai tempat transportasi
·   Pemantauan stok ikan dan parameter terkait
·   Peningkatan pendidikan di lingkungan pesisir dan laut
·   Penetapan standar baku dalam pencemaran
·   Adanya suatu lembaga antara pemerintah dan masyarakat pesisir dalam pengawasan lingkungan laut
·   Pengawasan perikanan antar sektor

Jepang
· Bencana alam : angin topan, gelombang besar, Stunami
· Aktivitas manusia : eksplorasi minyak,pembuangan limbah, parawisata
· Pengembangan pusat industri
· Erosi pantai



·      Kebijakan tentang perlindungan secara aktif melestarikan perikanan pantai
·      Mengembangkan industri sumber daya kelautan sesuai tingkat kelestarian sumber daya alam
·      UU pesisir tahun 1953 tentang tindakan khusus (hukum) dalam pemanfaatan dan perlindungan wilayah pesisir dengan konsep terpadu
·      Tahun 1974 pemerintah jepang mengeluarkan CFODA untuk mengelola industri perikanan
·      Membuat seawall dalam mengatasi erosi pantai






SUMBER

Ahrendt.K. Integrated Coastal Zone Management (ICZM): The Coastal Futures Project and ICZM approaches in Germany.
Amlalo, Daniel. The Protection, Management and Development Of The Marine and Coastal Environment Of Ghana .
Dahuri, R. dkk. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu .PT Pradnya Paramita. Jakarta. 244-245p.
Isobe,Masahiko. 1998. Toward Integrated Coastal Zone Management in Japan
Lutkes,S and Holzfub. 2006. Integrated Coastal Zone Management in Germany : Assesment and Steps Towards a National ICZM Strategy.