Minggu, 08 November 2015


"ARAH KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP"

Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia mempengaruhi salah satunya kebutuhan akan konsumsi ikan terkait kesadaran akan peningkatan gizi dan kesehatan. Sehingga konsumsi akan ikan juga terus bertambah dari tahun ke tahun. Pemerintah terus mengoptimalisasikan produksi perikanan untuk memenuhi kebutuhan tersebut. Salah satu prgram yang dilakukan pemerintah dalam meningkatkan produksi perikanan adalah peningkatan jumlah alat tangkap, moderenisai armada penangkapan ikan, pembangunan pelabuhan perikanan yang terpadu, revitalisasi program rencana perikanan. Namun hal tersebut dapat menimbulkan hal positif dan negatif. Sisi posistifnya dapat meningkatkan produksi perikanan tangkap. Namun disisi negatifnya adanya eksploitasi sumberdaya ikan dalam jumlah besar yang tidak dapat dikendalikan. Hal ini dapat mengancam keberlanjutan produksi perikanan tangkap diwilayah itu. Untuk itu pemerintah dalam memuwujdkan produksi perikanan yang berkelanjutan maka orientasinya tidak hanya berfokus pada peningkatan produksi sumberdaya ikan, namun juga pada pengelolaan lingkungan, sosial ekonomi, daya dukung dan pengawasan.
Selain itu illegal fishing juga salah faktor yang bisa mengakibatkan produksi perikanan tangkap berkurang. Dimana keteresediaan stok ikan semakin menipis akibat pecurian ikan oleh Negara lain yang masuk ke wilayah perairan perikanan Indonesia.
KKP hingga saat ini sudah membuat beberapa kebijakan terkait pengelolaan sumberdaya perikanan yaitu pembentukan Satgas illegal fishing, dan beberapa aturan terkait dengan pengelolaan kegiatan usaha perikanan. Aksi nyata yang telah ada dapat dilihat adanya pembakaran kapal-kapal asing yang masuk ke wilayah perairan Indonesia, pelarangan penangkapan dengan alat tangkap pukat hela dan pukat tarik yang pro dan kontra.
“Semoga saja program-program maupun kebijakan KKP bagi 2,7 juta orang nelayan yang tersebar diseluruh Indonesia yang mengoperasikan sekitar 557.140 unit kapal perikanan yang sebagian besar pelaku usaha perikanan merupakan nelayan kecil dapat meningkatkan tingkat kesejahteran meraka”

Senin, 14 Oktober 2013

PENGEMBANGAN EKOWISATA WILAYAH PESISIR DAN LAUT

PENGEMBANGAN EKOWISATA WILAYAH PESISIR DAN LAUT
BY : MOCH MACHTINO A. MAHALE


A. Pembangunan Dan Pengelolaan Wilayah Pesisir Yang Berkelanjutan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Menurut Seogiarto (1976) dalam Dahuri dkk (2008) definisi pesisir yang digunakan  di Indonesia adalah daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat wilayah pesisir meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut dan permbesan air asin; sedangkan ke arah laut wilayah pesisir mencakup bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti pengundulan hutan dan pencemaran.
Definisi pesisir diatas memberikan suatu pengertian bahwa ekosistem pesisir dinamis dan mempunyai kekayaan habitat yang beragam, di darat maupun di laut, serta saling berinteraksi antara habitat tersebut. Selain potensi yang besar, wilayah pesisir juga merupakan ekosistem yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia. Umumnya kegiatan pembangunan, secara langsung maupun tidak langsung berdampak merugikan terhadap ekosistem pesisir.
Tindakan pemanfaatan sumber daya laut dapat dipastikan berdampak pada adanya perubahan keseimbangan lingkungan dan bahkan dapat berbentuk sebagai beban pada lingkungan. Apabila pada akhirnya biaya perbaikan lingkungan lebih besar dari pada nilai ekonomi yang telah didapatkan maka tujuan pemanfaatan sumber daya untuk memberikan nilai tambah tidak dapat tercapai (Rais dkk, 2004).
Keberadaan sumberdaya alam yang besar dan beragam di wilayah pesisir dan laut menyebabkan banyak instansi atau sektor pelaku pembangunan yang terlibat dalam pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut. Hal ini berakibat seringnya terjadi tumpang tindih pemanfaatan sumberdaya alam antara sektor satu sektor dengan sektor yang lainnya. Oleh karena itu, agar pengelolaan sumberdaya alam di kawasan pesisir dapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan, maka daam perencanaan pengelolaan harus mengintegrasikan semua kepentingan sektoral. Prinsip keterpaduan antarsektor adalah kegiatan dari suatu sektor tidak dibenarkan mengganggu, apalagi sampai mematikan sektor lainnya. Keterpaduan sektoral ini meliputi keterpaduan antarsektor (horisontal) dan keterpaduan dalam satu sektor (vertikal). Oleh karena itu, perlu dilakukan penataan ruang pesisir dan laut untuk menghindari benturan anatarkegiatan dalam pembangunan wilayah pesisir dan laut (Tuwo, 2011).
Kebutuhan akan adanya pengaturan mengenai pengelolaan pesisir dan laur di Indonesia muncul setelah dituankannya Agenda 21 Global dalam Agenda 21 Indonesia tahun 1996. Disadari bahwa wilayah pesisir dan laut Indonesia memiliki makna dalam pembangunan ekonomi tapi disisi lain wilayah pesisir dan laut juga menyimpan sejumlah persoalan yang terkait dengan ekologi, sosial-ekonomi serta kelembagaan (Sunyowati, 2008).
Menurut Susilo (2012), agar pembangunan berkelanjutan dapat berjalan dengan baik haruslah diperhatikan berbagai ciri pokok dari jaringan kehidupan itu, yaitu:
1.      Prinsip Keterkaitan, yaitu sistem lingkungan alami yang memuat jaringan kehidupan (web of life) yang mempertautkan semua makhluk alami dalam hubungan keterkaitan satu dengan yang lain. Selain itu, terkait antara lingkungan ekonomi dan sosial.
2.      Prinsip keanekaragaman, yaitu semakin ragam jaringan kehidupan alami, semakin banyak kehidupan alami, semakin banyak hubungan keterkaitan komponen yang satu dengan yang lain. Semakin kuat, kukuh, dan stabil jaringan kehidupan alami yang terwujud dalam bentuk ecological system atau sistem yang semakin kukuh menopang kehidupan manusia.
3.      Prinsip kegunaan, yaitu komponen dalam jaringan ekosistem memiliki kegunaan dalam berfungsi. Tidak ada yang sia-sia dan tidak ada yang berguna dalam ekosistem. Termaksud, jaringan kehidupan sosial-politk dan jaringan kehidupan ekonomi di mana kedua-duanya buatan manusia sama-sama memiliki kemanfaatan bersama.
4.      Prinsip harmoni, yaitu setiap unsur alam terangkai secara harmonis antara satu dengan yang lain. Manusia perlu belajar dan memahami pengembangan harmoni alam ini agar pembangunan lingkungan buatan manusia dapat pula diterapkan.
5.      Prinsip keberlanjutan, yaitu lingkungan fisik akan memilki sumberdaya alam renewble resource yang mampu memperbaharui dirinya.
Dahuri dkk (2008) menjelaskan, tantangan mendasar bagi perencana dan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan adalah bagaimana memfasilitasi pembangunan ekonomi, dan pada saat yang sama, meminimalkan dampak negatif dari segenap kegiatan pembangunan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan pesisir, sehingga pembangunan ekonomi dapat berlangsung secara berkesinambungan. Juga dengan semakin meningkatnya jumlah penduduk dan intensitas pembangunan ekonomi, maka tekanan lingkungan terhadap wilayah pesisir, terutama berupa konflik pemanfaatan ruang dan sumberdaya alam serta pencemaran, juga akan semakin kompleks dan membengkak. Apabila jika dikaitkan dengan kemungkinan munculnya dampak pemanasan global (global warming) terhadap kawasan pesisir. Khususnya peningkatan permukaan laut (sea-level rise), maka tantangan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan di masa depan tidak mungkin dapat di atasi hanya dengan pendekatan sektoral dan hanya mementingkan keuntungan jangka pendek.
Pembangunan wilayah pesisir dan laut juga menghendaki adanya kerja sama dari para pihak atau stakeholder pembangunan di kawasan pesisir dan laut, yaitu pemerintah pusat dan daerah, masyarakat pesisir, pengusaha, dan lembaga swadaya masyarakat. Para pihak yang memiliki kepentingan terhadap pemanfaatan sumberdaya alam di kawasan pesisir dan laut harus menyusun perencanaan pengelolaan terpadu yang dapat mengakomodir segenap kepentingan mereka, dengan menggunakan model pendekatan dua arah, yaitu pendekatan dari atas ke bawah atau top down dari dari bawah ke atas atau bottom up. Pembangunan wilayah pesisir juga menghendaki adanya keterpaduan pendekatan, sebab pengelolaan wilayah pesisir dan laut memiliki keunikan wilayah dan beragamnya sumberdaya yang mengisyaratkan pentingnya pengelolaan wilayah tersebut secara terpadu (Tuwo, 2011). Ada tiga tipe pengelolaan daerah pesisir dan pantai yaitu :
a.       Integrated coastal management (ICM)
Merupakan pendekatan top-down yang merupakan ciri dari pemerintah yang sentralistik. Pendekatan ini untuk menguatkan keputusan-keputusan dari otorita pemerintah pusat tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan pantai. ICM ini mempunyai beberapa tujuan diantaranya mengaitkan antara aktivitas pembangunan, manusia, proses biofisik dan sektoral dengan lingkungan sekitar pantai misalnya, tanah di sekitar pantai, sumber-sumber air dan air lepas pantai.
b.      Community-based coastal resource management
Iberlawanan denga ICM, ini merupakan  pendekatan bottom-up yang melibatkan masyarakat setempat bila dipercaya untuk mengelola maka mereka akan mengelola sumberdaya laut tersebut dengan penuh tanggung jawab dan berkelanjutan dengan pembuatan peraturan yang disepakati oleh semua komponen masyarakat. Maka dapat disimpulkan bahwa pendekatan ini lebih efektif dari pada pendekatan top-down.
c.       Colloborative or co-management of Coastal Resource
Merupakan gabungan antara pengelolaan yang bersifat top-down dengan bottom-up. Ini menggambarkan realitas yang paling mungkin dengan melibatkan pemerintah lokal (pemda) untuk berbagai tanggung jawab dan kerja sama dalam kemitraan yang dinamis. Kerja sama ini didasarkan pada partisipasi individu dan kelompok yang menguatkan kerangka kerja pengelolaan sumberdaya. Pemerintah daerah tetap bertanggung jawab pada semua kebijakan dan koordinasi sementara kelompok-kelompok masyarakat yang menjalankan aktivitas hariannya dalam mengelola sumberdaya.
Kebijakan di bidang pesisir dan lautan sebagai kebijakan stategis diharapakan dapat membawa kemakmuran rakyat, mengembangkan harkat dan martabat bangsa Indonesia serta mampu mensejajarkan diri dengan kominitas negara maju didunia. Kebijakan tersebut didasarkan pada objektivitas ilmiah (scientific objectivity) yang dibangun berdasarkan asas partisipatif dan diarahkan agar rakyat sebagai penerima terbesar.
Di masa yang akan datang, Indonesia harus mengembangkan kebijaksanaan yang tegas dalam melaksanakan pengelolaan wilayah pesisir yang terintegrasi. Apa bila pihak yang berwenang dalam pembuatan kebijaksanaan ini lalai maka akan terjadi penyusutan berbagai jenis sumberdaya pesisir di seluruh pelosok negeri. Saat ini telah berkembang kecenderungan yang menggembirakan yakni telah tumbuhnya kesadaran akan pentingnya pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu, sehingga berbagai institusi telah menambah kemampuannya dalam bidang ini. lndikasi lain dari telah tumbuhnya kesadaran adalah kesungguhan aparat daerah mulai dari camat, bapedalda, dinas kehutanan serta dinas perikanan dalam menindak-lanjuti berbagai kasus dan konflik di wilayah pesisir masing-masing (Rositasari, 2001).


B. Definsi Ekowisata
            Hingga saat ini belum ada definisi baku tentang Ekowisata Pesisir dan Laut. Sebelum membuat definisi, maka ada baiknya mengkaji definisi Ekowisata itu sendiri. Menurut Tuwo (2011). Selain itu  menurut Word Conservation Union (WCU), ekowisata merupakan perjalan wisata ke wilayah-wilayah yang lingkungan alamnya masih asli, dengan menghargai warisan budaya dan alamnya, mendukung upaya-upaya konservasi, tidak menghasilkan dampak negatif, dan memberikan keuntungan sosial ekonomi serta menghargai partispasi penduduk lokal.  Sementara itu Wood (2002) mendefinisikan ekowista sebagai bentuk usaha atau sektor ekonomi wisata alam yang dirumuskan sebagai bagian dari pembangunan berkelanjutan. Sedangkan menurut Indrawan dkk (2007. Ekowisata merupakan suatu kategori rekreasi yang melibatkan sejumlah orang yang mengunjungi suatu tempat dan membelanjakan seluruh atau sebagian uangnya demi memperoleh pengalaman berinteraksi dengan komunitas biologi yang luar biasa. Ekowisata didefinisikan sebagai bentuk wisata yang menekankan tanggung jawab terhadap kelestarian alam, memberi manfaat secara ekonomi dan mempertahankan keutuhan budaya bagi masyarakat setempat. Jika dikaji, maka definisi ini menekankan pada pentingnya gerakan konservasi.
            Seiring dengan berkembangnya niat konservasi dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, maka lahir definisi baru mengenai Ekowisata, yaitu bentuk perjalanan wisata ke area alami yang dilakukan dengan tujuan mengkonversi lingkungan dengan melestarikan kehidupan dan kesejahteraan penduduk setempat. Definisi terbaru dari ekowisata adalah wisata berbasis pada alam dengan menyetarakan aspek pendidikan dan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekologis. Jika berdasar pada definisi yang terakhir ini, maka dapat dirumuskan bahwa Ekowisata pesisir dan laut adalah wisata yang berbasis pada sumberdaya alam pesisir dan laut dengan menyertakan aspek pendidikan interpretasi terhadap lingkungan alami dan budaya masyarakat dengan pengelolaan kelestarian ekosistem pesisir dan laut (Tuwo, 2011).
C. Pendekatan Pengelolaan Ekowisata
Pada saat ini, ekowisata telah berkembang. Wisata ini tidak hanya sekedar untuk melakukan pengamatan burung, mengendarai kuda, penelusuran jejak di hutan belantara, tetapi telah terkait dengan konsep pelestarian hutan dan penduduk lokal. Ekowisata ini kemudian merupakan suatu perpaduan dari berbagai minat yang tumbuh dari keprihatinan terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial. Ekowisata tidak dapat dipisahkan dengan konservasi. Dimana konservasi merupakan implementasi pengelolaan ekosistem sumberdaya laut dari kerusakan akibat aktivitas manusia (Supriharyono, 2009). Oleh karenanya, ekowisata disebut sebagai bentuk perjalanan wisata bertanggungjawab.
Sejak 1970an, organisasi konservasi mulai melihat ekowisata sebagai alternatif ekonomi yang berbasis konservasi karena tidak merusak alam ataupun tidak “ekstraktif” dengan berdampak negatif terhadap lingkungan seperti penebangan dan pertambangan. Ekowisata juga dianggap sejenis usaha yang berkelanjutan secara ekonomi dan lingkungan bagi masyarakat yang tinggal di dalam dan di sekitar kawasan konservasi (WWF-Indonesia, 2009).
Ekowisata merupakan bentuk wisata yang dikelola dengan pendekatan konservasi. Apabila ekowisata pengelolaan alam dan budaya masyarakat yang menjamin kelestarian dan kesejahteraan, sementara konservasi merupakan upaya menjaga kelangsungan pemanfaatan sumberdaya alam untuk waktu kini dan masa mendatang (Fandeli, 2000).
Agar ekowisata tetap berkelanjutan, perlu tercipta kondisi yang memungkinkan di mana masyarakat diberi wewenang untuk mengambil keputusan dalam pengelolaan usaha ekowisata, mengatur arus dan jumlah wisatawan, dan mengembangkan ekowisata sesuai visi dan harapan masyarakat untuk masa depan. Menurut Tuwo (2011) pendekatan berkelanjutan harus dapat menjamin kelestarian lingkungan, Yaitu: (1) menjaga tetap berlangsungnya proses ekologis yang mendukung sistem kehidupan; (2) melindungi keanekaragaman hayati; dan (3) menjamin kelestarian dan memanfaatkan jenis organisme dan ekosistemnya.
D. Pengembangan Ekowisata Diwilayah Pesisir Dan Laut Yang Berkelanjutan
Berdasarkan Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah wilayah pesisir terdiri atas sumber daya hayati, sumber daya nonhayati; sumber daya buatan, dan jasa-jasa lingkungan; sumber daya hayati meliputi ikan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan biota laut lain; sumber daya nonhayati meliputi pasir, air laut, mineral dasar laut; sumber daya buatan meliputi infrastruktur laut yang terkait dengan kelautan dan perikanan, dan jasa-jasa lingkungan berupa keindahan alam, permukaan dasar laut tempat instalasi bawah air yang terkait dengan kelautan dan perikanan serta energi gelombang laut yang terdapat di Wilayah Pesisir.
Dahuri dkk. (2008) mengemukakan bahwa di dalam kawasan pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan atau ekosistem dan sumberdaya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami ataupun buatan. Ekosistem alami yang terdapat di kawasan pesisir antara lain adalah terumbu karang, mangrove, padang lamun, pantai berpasir, estuaria, laguna, dan delta. Ekosistem buatan antara lain tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri, kawasan agroindustri, dan kawasan pemukiman.
            Disamping sumberdaya alam yang produktif ekosistem pesisir dan laut merupakan penyedia jasa pendukung kehidupan, seperti air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan ekosistem pesisir dan laut merupakan lokasi indah dan menyejukkan untuk dijadikan tempat rekreasi atau parawisata (Bengen, 2004)
            Pembangunan wilayah pesisir dan laut secara berkelanjutan  merupakan kebijakan penting Depatermen Kalutan dan Perikanan. Kebijakan tersebut didasarkan pada pemikiran bahwa wilayah peisisr dan laut secara ekologis dan ekonomis sangat potensial untuk dikembangkan dan dimanfaatkan demi kesejahteraan rakyat. Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mendorong pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut secara berkelanjutan, namun pola pemanfaatan yang sifatnya merusak dan mengancam kelestarian sumberdaya pesisir dan laut masih saja terus berlangsung. Pengembangan ekowisata merupakan salah satu alternatif pembangunan yang dapat membantu mengatasi masalah tersebut (Tuwo, 2011).
            Nugroho dan dahuri (2012), juga menjelaskan posisi kritikal dalam pengembangan ekowisata sesungguhnya terletak pada tingkat implementasi di wilayah lokal atau pemda. Di tingkat lokal tersebut, bertemu kepentingan penyediaan jasa ekowisata dan permintaan pengunjung. Bisnis jasa ekowisata mungkin saja menghadapi kendala seperti dihadapi bisnis umumnya. Namun jasa ekowisata perlu lebih serius ditangani agar supaya menghasilkan nilai tambah yang nyata dan positif bagi kegiatan konservasi lingkungan dan budaya setempat.
            Selain itu juga suatu kawasan relatif baru yang memiliki potensi sumberdaya alam yang baik juga memerlukan adanya  pemasaran yang baik pula. Dimana pemasaran memberikan kebutuhan akan kegiatan manusia melalui proses pertukaran. Faktor-faktor yang merupakan inti pemasaran adalah produk, harga, promosi dan distribusi. Kebijaksanaan bagi perusahaan-pe-rusahaan yang bergerak dalam bidang kepa-riwisataan, usaha swasta atau pemerintah, baik dalam ruang lingkup lokal, regional, na-sional dan internasional harus diupayakan mencapai kepuasan optimal wisatawan. Ke-butuhan-kebutuhan wisatawan dapat dipenuhi dan pelaku usaha wisata memperoleh keuntungan yang wajar (Sudirman, 2013).
Aktivitas ekowisata saat ini tengah menjadi tren yang menarik yang dilakukkan oleh para wisatawan untuk menikmati bentuk-bentuk wisata yang berbeda dari biasanya. Dalam konteks ini wisata yang dilakukkan memiliki bagian yang tidak terpisahkan dengan upaya-upaya konservasi, pemberdayaan ekonomi lokal dan mendorong respek yang lebih tinggi terhadap perbedaan kultur atau budaya. Hal inilah yang mendasari perbedaan antara konsep ekowisata dengan model wisata konvensional yang telah ada sebelumnya (Satria, 2009).
Satria (2009) menjelaskan, walaupun banyak nilai-nilai positif yang ditawarkan dalam konsep ekowisata, namun model ini masih menyisakan kritik dan persoalan terhadap pelaksanaanya. Beberapa kritikan terhadap konsep ekowisata antara lain:
1.      Dampak negatif dari pariwisata terhadap kerusakan lingkungan. Meski konsep ecotourism mengedepankan isu konservasi didalamnya, namun tidak dapat dipungkiri bahwa pelanggaran terhadap hal tersebut masih saja ditemui di lapangan. Hal ini selain disebabkan karena rendahnya pengetahuan dan kesadaran masyarakat sekitar dan turis tentang konsep ekowisata, juga disebabkan karena lemahnya manajemen dan peran pemerintah dalam mendorong upaya konservasi dan tindakan yang tegas dalam mengatur masalah kerusakan lingkungan.
2.      Rendahnya partisipasi masyarakat dalam Ekowisata. Dalam pengembangan wilayah Ekowisata seringkali melupakan partisipasi masyarakat sebagai stakeholder penting dalam pengembangan wilayah atau kawasan wisata. Masyarakat sekitar seringkali hanya sebagai obyek atau penonton, tanpa mampu terlibat secara aktif dalam setiap proses-proses ekonomi didalamnya.
3.       Pengelolaan yang salah. Persepsi dan pengelolaan yang salah dari konsep ekowisata seringkali terjadi dibeberapa wilayah di Indonesia. Hal ini selain disebabkan karena pemahaman yang rendah dari konsep Ekowisata juga disebabkan karena lemahnya peran dan pengawasan pemerintah untuk mengembangkan wilayah wisata secara baik.
Untuk mengembangkan pengelolaan ekowisata, diperlukan koordinasi antar lembaga dalam penanganan wisata diperlukan untuk menghindari konflik antar pemanfaat wilayah pesisir. Adanya berbagai pihak yang melakukan aktivitas di kawasan pesisir tanpa disertai konservasi dan pemulihan akan berdampak terhadap menurunnya kondisi lingkungan. Konservasi sumber daya alam tetap merupakan isu utama dalam pengelolaan wisata bahari di kawasan pesisir (Amanah dan Utami, 2006).
Perkembangan pariwisata juga bergantung pada aspek suprastruktur dan infrastrukur. Aspek suprastruktur merupakan fasilitas penunjang untuk pengunjung seperti penginapan, restoran, kolam renang, dll. Aspek infrastruktur meliputi ketersediaan air bersih, pembuangan sampah dan sumber daya listrik, akses ke airport, jalan, pelabuhan, dll. Tanpa adanya kedua aspek tersebut, maka pariwisata akan menyebabkan dampak negatif (Amanah dan Utami, 2006).
Setyadi dkk (2012) juga mengungkapkan kendala dalam pengembangan ekowisata diantaranya adalah mengenai jarak, aksesibilitas, peran pelaku pembangungan, pengetahuan tentang konsep ekowisata yang masih terbatas, dan tingkat kunjungan wisatawan yang masih rendah.
Inskeep (1991) mengemukakan untuk mengembangkan suatu kawasan wisata terdapat tujuh komponen yang saling berhubungan yaitu : daya tarik dan aktifitas wisata, fasilitas, dan pelayanan wisata, sistem infrastruktur, sistem transportasi, elemen-elemen kelembagaan (strategi pemasaran, program promosi, sistem regulasi dll), pelestarian lingkungan dan sosial ekonomi masyarakat setempat. Manurung (2002) dalam Nugroho (2011)  juga menjelaskan produk dan jasa dapat dikelompokkan kedalam enam jenis : (1) pemandangan dan atraksi  lingkungan dan budaya, (2) manfaat landsekap, misalnya memancing dan menyelam, (3) akomodasi, misalnya pondok wisata, restoran, (4)  peralatan dan perlengkapan, misalnya sewa alat menyelam dan camping, (5) pendidikan dan ketrampilan, (6) pengharagaan, yakni prestasi di dalam upaya konservasi.
Tuwo (2011) menjelaskan beberapa prinsip pengembangan ekowisata yang harus dipenuhi agar dapat menjamin keutuhan dan kelestarian ekosistem pesisir dan laut :
1.      Mencegah dan menanggulangi dampak dari aktivitas wisatawan terhadap bentang alam dan budaya masyarakat lokal.
2.      Mendidik atau menyadarkan wisatawan dan masyarakat lokal akan pentingnya konservasi.
3.      Mangatur agar kawasan yang digunakan untuk ekowisata dan management pengelola kawaasan peletarian dapat menerima langsung penghasilan atau pendapatan.
4.      Masyarakat dilibatkan secara aktif dalam perencanaan dan pengembangan ekowisata.
5.      Keuntungan ekonomi yang diperoleh secara nyata dari kegiatan ekowisata harus dapat mendorong masyarakat untuk menjaga kelestarian kawasan pesisir dan laut.
6.      Semua upaya pengembangan , termaksud pengembangan  fasilitas dan utilitas, harus tetap menjaga keharmonisasian dengan alam.
7.      Pembatasan pemenuhan permintaan, karena umumnya daya dukung ekosistem alamiah lebih rendah daripada daya dukung ekosistem buatan.
8.      Apabila suatu kawasan pelestarian dikembangkan untuk ekowisata,  maka devisa dan belanja wisatawan dialokasikan secara proposional dan adil untuk pemerintah pusat dan daerah.

Berkembangkanya ekowisata mengkonstribusikan secara signifikan upaya perlindungan lingkungan dan penduduk lokal. Menurut Atta dkk (2013) konsep ekowisata lebih baik jika dikembangkan lagi dengan konsep ekowisata berbasis masyarakat atau Community Based Ecotourism (CBE). Pengembangan ekowisata–CBE akan memiliki multiplier effect yang sangat luas terutama dalam upaya mempertahankan kondisi lingkungan (sisi ekologis) namun tidak melupakan peningkatan perekonomian masyarakat lokal (sisi ekonomi).










DAFTAR PUSTAKA

Amanah, S. dan Utami, N. 2006. Perilaku Nelayan Dalam Pengelolaan Wisata Bahari Di Kawasan Pantai Lovina, Bulelang, Bali. Jurnal Penyuluhan Septermber 2006, Vol. 2, No 2. Hal 83-90.
Atta, M., Hakim, M., Yanuwiadi. Analisis dan Potensi dan arahan strategis Kebikana Pengembangan Desa Ekowisata Di Kecamatan Bumiaji-Kota Batu. Journal Of Indonesia Tourism and Development Studies. Vol. 1, No. 2, April 2013. Hal 68-78.
Bengen, D. G. 2004. Sinopsis Ekosistem Dan Sumberdaya Alam Pesisir Dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir Dan Lautan Institut Pertanian Bogor (PKSPL) IPB, Bogor. 
Dahuri, R., Rais, J., Ginting, S. P., Sitepu, M. J. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Peisir Dan Lautan Secara Terpadu. . PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Fandeli. 2000. Pengertian dan konsep dasar Ekowisata. www.geocities.com/roykapet/konsep_ekowisata.pdf
Indrawan, M., Primack, R. B., dan Supriatna, J. 2012. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta. .
Inskeep, E. 1991. Tourism Planning : An Integrated and Sustainable Development Approach. New York : Van Nostrand Reinhoid
Keputusan Bupati Bone Bolango Nomor 165 Tahun 2006. Tentang Petapan Kawasan Konservasi Laut Daerah Di Desa Olele Kecamatan Kabila Bone Kabupaten Bone Bolango.
Mukaryanti dan Saraswati, A. 2005. Pengembangan Ekowisata Sebagai Pendekatan Pengeloaan Sumber Daya Pesisir Berkelanjutan. J.Tek.Ling.P3TL-BPPT .6. (2): 391-396.
Nugroho, I., Dahuri, R. 2012. Pembangunan Wilayah; Perspektif Ekonomi, Sosial dan Lingkungan. Penerbit LP3ES. Jakarta.
Nugroho, I. 2011. Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan. Pustaka Belajar. Yogyakarta.
Rais, J., Sulistiyo, B., Diamar, S., Gunawan., Sumampouw, M., Soeprapto, T. A., Shuardi, I., Widodo, M. S. 2004. Menata Ruang Laut Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Rositasari, R. 2001. Indonesia Menuju Manajemen Wilayah Pesisir Terintegrasi. Oseana, ISSN 0216-1877. Volume XXVI, Nomor 2, 2001. Hal 25-34.
Satria, D. 2009. Strategi Pengembangan Ekowisata Berbasis Ekonomi Lokal Dalam Rangka Program Pengentasan Kemiskinan Di Wilayah Kabupaten Malang. Journal Of Indonesian Applied Economics. Vol.3 No.1 Mei 2009. Hal 37-47.
Setyadi, I. A., Hartoyo, Maulana, A., Muntasib. 2012. Strategi Pengembangan Ekowisata Di Taman Nasional Sebangau Kalimantan Tengah. Jurnal Manajemen & Agrobisnis, Vol. 9 No. 1 Maret 2012. 1-12
Shofwan., Khusaini, M., Badriyah N. 2008. Pengelolaan Potensi Sumberdaya Kelautan Sebagai Upaya Peningkatan Pendapatan Nelayan (Studi Kasus Community-Based Management Wilayah Pesisir di Kabupaten Tuban. Journal Of Indonesian Applied Economics. Vol. 2 No. 1 Mei 2008, 102-112.
Sudirman, D. 2013. Kajian Pengembangan dan Pemasaran Ekowisata Taman , Nasional Subangau. Jurnal Imu Sosial. Volume 5, No. 1, Februari 2013. 23-30.
Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberdaya Hayati Di Wilayah Pesisir dan Laut Tropis. Pustaka Belajar. Yogyakarta. Hal 289.
Susilo, R. K. D. 2012. Sosiologi Lingkungan & Sumberdaya Alam Perspektif Teori dan Isu-Isu Mutakhir. Ar-Ruzz Media. Jogjakarta.
Sunyowati, D. Penataan Ruang Laut Berdasarkan Integrated Coastal Management. Mimbar Hukum Volume 20, Nomor 3, Oktober 2008, Halaman 411-588.
Tuwo, A. 2011. Pengelolaan Ekowisata Pesisir Dan Laut; Pendekatan Ekologi, Sosial-Ekonomi, Kelembagaan, dan Sarana Wilayah. Brilian Internasional. Surabaya.
Wood. M. E. 2002. Ecotorism : Principles, Pratices and Politicies For Sustainability. United Nations Environment Programe (UNEP).
WWF-Indonesia. 2009. Prinsip Dan Kriteria Ekowisata Berbasis Masyarakat. Kerjasama Direktorat Produk Parawisata, Direktorat Jendral Pengembangan Destinasi Parawisata, Departemen Kebudayaan dan Parawisata dan WWF-Indonesia.


Minggu, 30 Juni 2013

Pengelolaan Pesisir Secara Terpadu Berbasis Daya Dukung


Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan 17.480 pulau yang terdiri dari sejumlah pulau besar dan lebih dari 1.000 pulau-pulau kecil yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Adapun wilayah laut teritorial seluas 5,8 juta km2 atau sebesar 63% dari total wilayah teritorial Indonesia, dengan luas Zona Ekonomi Eksklusif 2,7 juta km2 dan garis pantai sepanjang 95.181 km (Numberi, 2009). Hal-hal tersebut menjadikan wilayah pesisir Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam yang tinggi seperti mangrove, terumbu karang (coral reefs) dan padang lamun (sea grass beds). Menurut Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, wilayah pesisir adalah daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan di laut, menurut Supriharyono (2007) wilayah ini sangat produktif dengan keberadaan estuaria, hutan bakau, padang lamun serta terumbu karang, sehingga sedemikian panjangnya pantai Indonesia merupakan potensi sumberdaya alam yang besar untuk pembangunan ekonomi.
Keanekaragaman sumberdaya alam yang terdapat di wilayah pesisir, mengakibatkan wilayah ini umumnya merupakan pemusatan berbagai kegiatan pembangunan seperti pemukiman, pertambakan, tempat rekreasi, sarana penghubung dan sebagainya. Terdapat sebanyak 60% penduduk Indonesia diperkirakan tinggal dan hidup di wilayah pesisir (Supriharyono, 2002). Sejalan dengan pertambahan penduduk di Indonesia yaitu sebanyak 237.556.363 jiwa (BPS, 2010), tentunya memberikan tekanan yang besar kepada wilayah ini khususnya akibat aktivitas manusia.
            Dalam suatu wilayah pesisir suatu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) dan sumber daya pesisir. Ekosistem pesisir dapat bersifat alami atau pun buatan (man-made). Ekosistem alami yang terdapat di wilayah pesisir antara lain adalah : terumbu karang, hutan mangroves, padang lamun, pantai berpasir, formasi pes-caprea, formasi bringtonia, estuari, laguna dan delta.  Sedangkan ekosistem buatan antara lain berupa : tambak, sawah pasang surut, kawasan parawisata, kawasan industri, kawasan agroindustri dan kawasan pemukiman.
            Sumber daya di wilayah pesisir terdiri dari sumber daya alam yang dapat pulih dan tidak dapat pulih, sumber daya yang dapat pulih antara lain, meliputi sumber daya perikanan (planton, benthos, ikan, moluska, krustasea, mamalia laut), rumput laut (seaweed), padang lamun, hutan mangrove dan terumbu karang. Sedangkan sumberdaya yang tidak dapat pulih antara lain, mencakup: minyak dan gas, bijih besi, pasir, timah, bauksit dan mineral serta bahan tambang lainnya.
            Dalam hal tersebut terkait pemanfaatan sumberdaya yang ada di pesisir serta berbagai aktivitas-aktivitas yang berlangsung diwilayah pesisir maka perlu adanya pengelolaan secara terpadu. Perencanaan secara terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu dimaksudkan sebagai suatu upaya secara terpogram untuk mencapai tujuan yang dapat mengharmoniskan dan mengoptimalkan antara kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi.
            Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu adalah suatu pendekatan pengelolaan wilayah pesisir yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumber daya, dan kegiatan pemanfaatan (pembangunan) secara terpadu (integrated) guna mencapai pembangunan wilayah pesisir secara berlanjutan. Dalam konteks ini, keterpaduan (integration) mengadung tiga dimensi : sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis.
Untuk mendorong pembangunan yang berkelanjutan perlu dilakukan penataan kawasan sesuai dengan kondisi sumberdaya alam, pola pemanfaatan dan sesuai dengan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Upaya penataan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari perencanaan tata ruang untuk keseluruhan wilayah. Pengelolaan lingkungan wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil harus dirancang secara rasional dan bertanggungjawab sesuai dengan kemampuan daya dukungnya dengan mengutamakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat serta memperhatikan kelestarian fungsi dan keseimbangan lingkungan kawasan pesisir bagi pembangunan yang berkelanjutan.

Ditinjau dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan dan status indonesia sebagai negara berkembang, PWPLT dalam konteks Indonesia sesungguhnya berada di persimpangan jalan. Indonesia masih memiliki banyak kawasan pesisir dan lautan dengan potensi pembangunan yang sangat besa, tetapi belum dimanfaatkan secara optimal. Kondisi terutama dijumpai di kawasan timur Indonesia pembangunan. Berdasarkan karakteristik dan dinamika (the nature) dari kawasan pesisir dan lautan, potensi dan permasalahan, maka pencapaian pembangunan kawasan pesisir dan lautan secara optimal dan berkelanjutan tampaknya hanya dapat dilakukan melalui pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (PWPLT). Hal ini paling tidak berdasarkan pada empat alasan pokok :
1.      Secara empiris terdapat keterkaitan ekologis (hubungan fungsional), baik antaraekosistem di dalam kawasan pesisir maupun antara kawasan pesisir dengan lahan atas dan laut lepas.
2.      Dalam suatu kawasan pesisir, pada umumnya terdapat lebih dari satu kelompok masyarakat (orang) yang memiliki keterampilan/keahlian dan kesenangan (preference) bekerja yang berbeda, sebagai petani tambak, petani rumput laut, pendamping parawisata, industri dan kerajinan rumah tangga dan sebagainya.
3.      Dalam suatu kawasan pesisir, biasanya terdapat lebih dari dua macam sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan yang dapat dikembangkan untuk kepentingan pembangunan.
4.      Baik secara ekologis maupun ekonomis, pemanfaatan suatu kawasan pesisir secara monokultur (singel use) adalah sangat rentan terhadap perubahan internal maupun eksternal yang menjurus pada kegagalan usaha.

 Keunggulan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu (PWPLT)
Beberapa keunggulan (kelebihan atau manfaat) PWPLT jika dibandingkan dengan pendekatan secara sektoral (IPPC, 1994)
1.      PWPLT memberikan kesempatan kepada masyarakat pesisir untuk membangun sumber daya pesisir sacare berkesinambungan. Hanya pendekatan pengelolaan secara terpadu yang dapat mengatasi konflik pemanfaatan ruang dan sumber daya alam yang biasanya terjadi di kawasan pesisir.
2.      PWPLT memungkinkan untuk memasukan pertimbangan tentang kebutuhan serta aspirasi masyarakat terhadap sumber daya alam dan jasa-jasa lingkungan wilayah pesisir dan lautan baik sekarang maupun yang akan datang, PWPLT dapat meminimalkan dampak negatif terhadap ekosistem pesisir dan lautan.
3.      PWPLT menyediakan kerangka (framework) yang dapat merespon segenap fluktuasi maupun ketidak-menentuan yang merupakan ciri khas dari ekosistem pesisir dan lautan
4.      PWPLTmembantu pemerintah daerah maupun pusat dengan suatu proses yang dapat menumbuhkembangkan pembangunan ekonomi serta peningkatan kualitas kehidupan masyarakat.
5.      Meskipun PWPLT memerlukan pengumpulan dan analisis data serta proses perencanaan yang lebih panjang dari pada pendekatan sektoral, tetapi secara keseluruhan akhirnya PWPLT lebih murah ketimbang pendekatan secara sektoral.

Permasalahan dan konflik diwilayah pesisir
Dalam perencanaan pengembang-an wilayah sering terlebih dahulu dlakukan delineasi wilayah (region) yang didalamnya terdapat kegiatan untuk menentukan batas-batas wilayah. Penentuan batas wilayah dengan memperhatikan terhadap konsep wilayah. Dalam kaitan ini, konsep wilayah lebih menekankan “wilayah” sebagai suatu alat (means) untuk suatu tujuan dibandingkan dengan tujuannya sendiri. Sebagai suatu konsep, dapat ditunjukkan dengan mengambil contoh konsep wilayah yang telah digunakan sebagai suatu metode klasifikasi melalui dua fase yang berbeda, yaitu dari fase yang merefleksikan kemajuan ekonomi dari suatu ekonomi agraris yang sederhana menuju suatu sistem perindustrian yang kompleks. Fase pertama memperlihatkan wilayah formal (menyangkut uniformitas, dan didefinisikan melalui homogenitas), sementara fase kedua menunjukkan perkembangannya sebagai wilayah fungsional (menyangkut interdependen, interrelationship dan didefinisikan berdasarkan hubungan internasional)
Wilayah pantai/pesisir mempunyai karakter yang spesifik. Wilayah ini merupakan agregasi dari berbagai komponen ekologi dan fisik yang saling terkait dan saling mempengaruhi, serta secara ekologis sangat rapuh. Sebagaimana telah disinggung di depan bahwa pembangunan sumberdaya alam yang tidak memperhatikan prinsip-prinsip ekologi akan sangat mudah merusak proses atau berfungsinya ekosistem pantai.
Suatu ekosistem pantai adalah komposisi dari berbagai komponen (komponen ekologi dan biologi, serta lingkungan fisik pantai) serta interaksinya. Komponen ekologi dan biologi dari ekosistem pantai termasuk spesi binatang, tumbuhan dan organisme. Setiap spesi mempunyai peranan fungsi yang unik di dalam ekosistem pantai dan mempunyai habitat tertentu. Lingkungan fisik pantai meliputi perairan pantai, muara sungai, karang pantai. Interaksi antar komponen dari ekosistem pantai terjadi melalui pertukaran energi dan zat, yang dimulai dengan konservasi cahaya matahari, nutrien dasar, karbon dioksida dan mineral oleh tumbuhan (primary produsers) menjadi jaringan tumbuh-tumbuhan (plant tissues) yang merupakan bahan dasar makanan untuk binatang.
Beberapa komponen dari ekosistem pantai berfungsi sebagai unit yang menyimpan “energy supply”. Cadangan energi berfungsi menstabilisasikan ekosistem dan sebagai “buffer” terhadap kebutuhan energi yang besar yang terjadi pada musim atau periode waktu tertentu. Kombinasi dari masuknya air tawar ke perairan pantai, angin, ombak laut, temperatur, kekeruhan sangat mempengaruhi berfungsinya proses ekosistem pantai. Perubahan yang menonjol pada komponen dan rantai interaksi utama ekosistem pantai, terutama diakibatkan oleh proses pembangunan dan pendayagunaan sumber daya alam pantai, dapat mengakibatkan terganggunya proses dan integritas ekosistem yang selanjutnya menimbulkan degradasi lingkungan yang mengakibatkan kerugian pada masyarakat di wilayah pantai.
Tekanan yang keras dari proses pembangunan di wilayah pantai akan berakibat pada gangguan atau dampak yang merusak pada fungsi dan integritas dari ekosistem pantai. Akibat yang timbul adalah degradasi lingkungan dan menurunnya tingkat kesejahteraan sosial dan ekonomi masyarakat pesisir. Upaya yang efektif untuk meminimalkan dampak negatif pembangunan ekonomi dan intergritas ekosistem pantai adalah menekankan usaha konservasi sumber daya alam pantai untuk menunjang pembangunan jangka panjang dan berkelanjutan. Namun di dalam prakteknya, pendekatan pengelolaan tersebut tidak sepenuhnya fleksibel secara politis dan sukar dilaksanakan. Manfaat jangka pendek dari pembangunan ekonomi dan penggunaan sumber daya alam, pada kenyataannya, dibutuhkan di dalam pengembangan ekonomi dan perbaikan kondisi sosial masyarakat pantai. Dengan demikian pertimbangan-pertimbangan praktis dari berbagai pandangan harus diupayakan untuk menyeleraskan kepentingan yang berorientasi jangka pendek dan jangka panjang.
Adanya kecenderungan yang nyata dari konflik antara pengguna/pemakai sumber daya alam pantai, pada prinsipnya karena masalah eksternalitas dan overuses. Masalah ekseternalitas adalah dampak yang terjadi pada pihak ketiga diluar proses transaksi ekonomi. Upaya untuk menginternalkan tersebut dapat dilakukan melalui biaya sosial (sosial cost) kedalam proses produksi (caranya dapat bermacam-macam, effluent charges, bargaining-negosiasi antar pihak ketiga dengan pihak pencemar lingkungan). Overuses terjadi karena setiap “user” berusaha memaksimalkan pengguna/ pemakai sumber daya alam. Konflik akibat eksternalitas dan overuses apabila tidak ditangani secara cepat dan tepat akan menimbulkan menurunnya kualitas lingkungan. Konflik inipun akan menimbulkan golongan lemah akan semakin menderita dan selanjutnya tergusur dari wilayah pantai Problem dan konflik yang cenderung terjadi akibat adanya “multiple management entities” adalah fragmentasi di dalam pengambilan keputusan, duplikasi/overlapping kewenangan/yuridiksi adalah tidak efektif dan tidak efisien. Agar menjadi efektif dan efisien, maka problem tersebut harus dipecahkan. Konflik kadang mempunyai dampak positif di dalam merangsang kreatifitas pemecahan masalah di dalam managemen publik. Namun konflik kewenangan dan kepentingan yang berkepanjangan akan menghambat pencapaian tujuan untuk meningkatkan kualitas lingkungan wilayah dan ekosistem pantai.
Seperti halnya dikabupaten Indramayu dimana kegiatan manusia menjadi faktor penting terjadinya kerusakan ekosistem hutan mangrove. Tindakan manusia seperti membuka lahan tambak yang melampaui batas daya dukung, maupun memanfaatkan tanaman mangrove secara berlebih tanpa melakukan rehabilitas akan menyebabkan terjadinya degradasi ekosistem mangrove. Pola pemanfaatan lahan yang tidak ramah lingkungan juga akan mengancam keberadaan ekosistem hutan mangrove. Demikian pula pola pembangunan yang dijalankan di daerah akan mempengaruhi kelestarian sumberdaya hutan mangrove. Pada saat ini ada indikasi bahwa kerusakan ekosistem hutan mangrove dan ancaman kepunahan spesies mangrove di wilayah pesisir Kabupaten Indramayu semakin meningkat. Faktor penyebab kerusakan dan akar masalahnya cukup kompleks. Namun inti dari semua permasalahan degradasi hutan mangrove itu pada hakekatnya bersumber pada manusia berserta perilakunya dalam hal ini adalah masyarakat yang ada disekitarnya.
Dalam konteks sistem ekologi, wilayah pesisir dan laut memeliki produktivitas tinggi. Masalah yang biasa terjadi dalam pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut berkaitan erat dengan perilaku masyarakat pengguna sumber daya ini hampir selalu dilandasi oleh kerangka pikir “open access”. Lebih lanjut, karena dalam kerangka pikir open access tidak memiliki arti kepimilikan sama sekal, pemanfaatan sumber daya pesisir cenderung untuk menjadi berlebih. Kerangka pikir open access ini menyebabkan tidak seimbangnya laju pemanfaatan dan laju pemulihan sumber daya tersebut. Dengan demikian dalam konteks pengelolaan sumberdaya pesisir yang berkelanjutan diperlukan upaya terpadu yang memperhatikan daya dukung lingkungan.
Untuk diketahui, aktivitas-aktivitas manusia, dalam rangka memanfaatkan sumberdaya alam, didaerah pantai banyak yang menggunakan alat tangkap yang kurang ramah lingkungan, seperti penangkapan ikan dengan bahan peledak dan racun (KCN). Penangkapan ini biasanya dilakukan didaerah karang. Selain membunuh ikan-ikan sasaran, praktek penangkapan dengan cara ini juga merusak ekosistem sumberdaya terumbu karang. Disamping itu, masih banyak praktek-praktek lain yang menyokong semakin rusak terumbu karang, misalnya pengambilan karang, baik yang mati (untuk bahan bangunan) maupun yang hidup (untuk hiasan aquarium) dan aktivitas lainnya baik yang ada didaratan maupun dilaut, seperti penggundulan hutan, industrialisasi, pelabuhan, pertambangan, pelayaran dan parawisata dapat membahayakan ekosistem wilayah pesisir.

Pendekatan Perencanaan Pengembangan Pesisir
Banyak yang berpendapat bahwa pengelolaan wilayah pantai secara terpadu (Intergrated Coastal Zone Management) merupakan kunci bagi pemecahan problem dan konflik di wilayah pantai yang sangat pelik dan kompleks. Keterpaduan di dalam manajemen publik dapat didefinisikan sebagai penentuan goals dan objektif secara simultan, melakukan secara bersama-sama pengumpulan informasi, perencanaan dan analisis secara kolektif, penggunaan secara bersama-sama perangkat/ instrumen pengelolaan. Pada kenyataannya, integrasi yang bersifat ideal sebagaimana dikemukakan di atas tidak pernah akan dapat terjadi atau dilakukan. Di dalam praktek integritasi ini biasanya merupakan upaya koordinasi antara berbagai enstitusi/lembaga terkait untuk menyelaraskan berbagai kepentingan, prioritas dan tindakan. Usaha untuk melakukan koordinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan mekanisme, prosedur dan rencana. Dengan demikian, rencana wilayah pantai terpadu disamping berfungsi sebagai arahan bagi pengembangan, strategi yang dilakukan dan tindakan yang akan dilaksanakan, juga berfungsi sebagai instrumen koordinasi.
Konsepsi pengembangan wilayah dapat dilakukan melalui beberapa pendekatan dan selalu terdapat isue-isue yang lebih menonjol tergantung dari kondisi wilayah pesisir bersangkutan. Pendekatan-pendekatan ini meliputi : (1) pendekatan ekologis; (2) pendekatan fungsional/ ekonomi; (3) pendekatan sosio-politik; (4) pendekatan behavioral dan kultural. Pendekatan ekologis menekankan pada tinjauan ruang wilayah sebagai kesatuan ekosistem. Pendekatan ini sangat efektif untuk mengkaji dampak suatu pembangunan secara ekologis, akan tetapi kecenderungan mengesampingkan dimensi sosial, ekonomis dan politis dari ruang wilayah. Pendekatan fungsional ekonomi, menekankan pada ruang wilayah sebagai wadah fungsional berbagai kegiatan, dimana faktor jarak atau lokasi menjadi penting. Pendekatan sosial politis, menekankan pada aspek “penguasaan” wilayah. Pendekatan ini melihat wilayah tidak saja dilihat dari berbagai sarana produksi namun juga sebagai sarana untuk mengakumulasikan power. Konflik-konflik yang terjadi dilihat sebagai konflik yang terjadi antar kelompok. Pendekatan ini juga melihat wilayah sebagai teritorial, yakni mengaitkan ruang-ruang bagian wilayah tertentu dengan satuan-satuan organisasi tertentu. Pendekatan behavioral dan kultural, menekankan pada keterkaitan antara wilayah dengan manusia dan masyarakat yang menghuni atau memanfaatkan ruang wilayah tersebut. Pendekatan ini menekankan perlunya memahami perilaku manusia dan masyarakat dalam pengembangan wilayah. Pendekatan ini melihat aspek-aspek norma, kultur, psikologi masyarakat yang berbeda akan menghasilkan konsepsi wilayah yang berbeda.
Disamping pendekatan-pendekatan yang bersifat substansial seperti diatas, terdapat beberapa pendekatan yang bersifat instrumental. Pendekatan instrumental ini dapat dikategorikan dalam 4 (empat) kelompok besar, yaitu (1) instrumen hukum dan peraturan; (2) instrumen ekonomi; (3) instrumen program dan proyek; dan (4) instumen alternatif.
Instrumen hukum dan peraturan mempunyai konsep atau ide dasar adanya hukum dan peraturan beserta penegakannya. Instrumen ini antara lain berupa hukum dan peraturan-peraturan seperti ijin lokasi, ijin bangunan, AMDAL dan sebagainya. Instrumen ekonomi mempunyai konsep atau ide dasar adanya pengaruh ekonomi pasar yang sangat signifikan terhadap pengembangan wilayah. Contoh dari penerapan instrumen ini adalah adanya penerapan pajak, retribusi serta insentif dan disinsentif yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang. Instrumen program dan proyek khususnya yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah didasari atas konsep atau ide dasar pada kebutuhan-kebutuhan dasar dan kepentingan masyarakat luas. Penerapan instrumen ini seperti pembangunan sarana dan prasarana wilayah dan sejenisnya. Instrumen alternatif berdasarkan konsep atau ide dasar adanya pemberdayaan masyarakat dari kemitraan. Contoh-contoh dari penerapan instrumen ini antara lain meliputi pelatihan, pendidikan, partisipasi masyarakat, adanya proyek-proyek percontohan, penghargaaan kepada pelaku masyarakat dan swasta atau pelaku pembangunan lainnya.

 Proses Perencanaan
Proses dan langkah-langkah ini secara sederhana dapat diperlihatkan sebagai Proses Perencanaan – Implementasi – Evaluasi Kawasan Pesisir Pantai. Penyusunan rencana, pada umunya dirangsang oleh adanya problem dan konflik yang kritis diwilayah pantai. Hal ini menimbulkan kesadaran akan perlunya perencanaan wilayah pantai terpadu. Keadaan ini, dilanjutkan dengan inisiatif dari pihak pemerintah daerah maupun pusat untuk melakukan persiapan penyusunan rencana. Proses perencanaan ini bersifat iteratif dan memungkinkan adanya umpan balik ganda (multiple feedback).
Proses dan langkah-langkah dasar dalam perencanaan dapat ditunjukkan seperti gambar dibawah yang terdiri dari 6 langkah yaitu: definisi problem, menetapkan kriteria evaluasi, identifikasi alternatif-alternatif, evaluasi alternatif-alternatif, pembandingan alternatif-alternatif, dan penilaian out-come. Hal yang demikian adalah merupakan langkah-langkah umum dalam proses, dan tiap langkah dapat dijabarkan ke dalam komponen yang lebih detail. Perlu diketahui bahwa dalam perencanaan, para perencana boleh jadi menggunakan bermacam jalur, dikarena-kan perbedaan dalam training, waktu yang tersedia untuk analisis, kompleksitas problem, sumber-daya yang tersedia, dan afiliasi organisasional.




Langkah pertama (mendefinisikan problem) adalah usaha mengetahui posisi-posisi dan pengaruh dari berbagai individu-individu dan kelompok-kelompok. Sehingga seorang perencana mesti bertanya. Siapa yang berkepentingan terhadap problem? Mengapa? Apa saja persoalan mereka? Kekuasaan apa yang dipunyai untuk mempengaruhi keputusan kebijakan?
Tantangan dalam langkah ini adalah menyatakan problem dengan penuh makna, menghilangkan materi-materi yang tidak relevan, menyatakannya dengan angka-angka, berfokus pada sentral. Faktor-faktor yang kritis, dan mendefinisikan problem dengan cara menghilangkan hal-hal yang bersifat ambigius. Setelah usaha ini, akan diketahui apakah terdapat problem yang dapat diselesaikan, apakah mampu untuk mengembangkan problem dengan statemen yang detail, dan apakah mampu untuk mengestimasi waktu dan sumberdaya bagi analisis yang diperlukan
Langkah kedua (penetapan kriteria evaluasi), perlu diketahui kapan suatu problem diselesaikan atau kapan kebijakan yang tepat atau yang bersifat dapat diterima diidentifikasi? Bagaimana kebijakan-kebijakan yang mungkin ada akan diperbandingkan? Apakah kebijakkan yang diusulkan akan mempunyai bermacam dampak dan mempengaruhi kelompok-kelompok yang berbeda? Kebijakan-kebijakan akan diterima oleh kelompok satu, akan tetapi kemungkinan ditolak oleh kelompok lain, atau malah membahayakan kepada kelompok lain.
Langkah ketiga (identifikasi kebijak-an alternatif) dalam proses, perencana harus mengetahui nilai-nilai, tujuan, dan sasaran-sasaran yang tidak saja bagi pihak-pihak tertentu, namun juga kepada seluruh pihak yang terlibat. Identifikasi terhadap kriteria adalah digunakan untuk pertimbangan alternatif-alternatif dan membantu untuk membuat kebijakan alternatif.
Langkah keempat (evaluasi kebijak-an-kebijakan alternatif) dalam proses adalah evaluasi kebijakan alternatif dan paket-paket kebijakan ke dalam strategi dan program. Apa saja dampak-dampak yang diharapkan dari masing-masing kebijakan? Seberapa jauh masing-masing kebijakan memenuhi kriteria evaluasi? Kegiatan evaluasi ini dapat mengungkap alternatif-alternatif yang memenuhi sebagian besar atau seluruh kriteria umum, dan dapat pula mengungkap hal-hal lain yang dapat dibuang dengan sedikit analisis tambahan. Beberapa alternatif butuh eksaminasi lebih lanjut. Data tambahan mungkin harus dikumpulkan. Selama tahap ini adalah merupakan hal penting bagi seorang analisis untuk memeriksa perbedaan antara kelayakan ekonomi atau kelayakan teknis dengan alternatif yang acceptable secara politis. Formulasi kebijakan – desain dan evaluasi alternatif atau pilihan kebijakan – dimaksudkan pada pendefinisian problem secara tepat dan menemukan solusi-solusi yang layak dan efektif. Apakah solusi-solusi ini dapat diimplementasikan adalah merupakan pertanyaan politis esensial.

 Kegiatan pengelolaan, manfaat dan dampaknya
1. Rencana pengelolaan perikanan dan partispasi masyarakat.
Aktivitas penyusunan rencana pengelolaan perikanan pantai (management plant) didahului dengan elaborasi data base tentang kondisi sumberdaya ikan dan habitat (ekologi) melalui suatu kajian tentang Resource Ecological Assessment (REA), serta kondisi sosial ekonomi masyarakat melalui kajian Socioeconomic Assessment (SEA). Kajian REA memberikan informasi tentang tingkat pemanfaatan sumberdaya ikan utamanya jenis ekonomis penting, kondisi habitat ikan dan utamanya jenis ekonomis penting, kondisi habitat ikan dan issu/permasalahan yang terjadi dalam konteks pemanfaatan sumberdaya ikan. Selanjutnya SEA memberikan informasi tentang tingkat pendapatan dan kesejahteraan nelayan dan keluarganya.
Informasi yang terangkum dalam REA selanjutnya dipergunaakan untuk menyusun Rencana Perikanan Pantai (Management Plan) yang bersifat umum dan rangkain Rencana Aksi (Action Plan) yang merupakan rangkaian rencana aksi. Rencana ini disusun berdasarkan prioritas issu (issu spesifik) di masing-masing lokasi proyek yang perlu mendapat pengelolaan segera.
Issu spesifik merupakan rangkaian masalah dalam bidang pengelolaan sumberdaya perikanan pantai. Dari hasil kegiatan diperoleh tentang sulitnya penegakan hukum positip untuk mengatasi masalah tersebut, mengingat lokasi kejadian berada dilaut. Misalnya konflik antara nelayan rawai dan nelayan gillnet dasar di Bengkalis telah berlangsung menahun tanpa adanya indikasi penyelesaian yang jelas dan dapat diterima oleh kedua berlah pihak. Demikan pulanya halnya dengan kegiatan penangkapan ikan dengan bahan peledak dan atau racun telah berlangsung cukup lama dan telah menghancurkan terumbu karang serta keanekaragamannya. Oleh karenanya penyusunan rencana aksi (action plan) bertumpu pada masalah yang dihadapi bersama menjadi sangat penting dan kalau tidak maka hal tersebut akan mengancam masa depan nelayan dan keluarganya.
Disadari bahwa syarat dasar rencana aksi yang baik adalah diterima oleh unsur stakeholder dan dapat dilaksanakan, sehingga aktivitas analisa stakeholder dilakukan secara simultan dengan penyusunan rencana aksi. Analisa stakeholder dimaksud untuk mengetahui pihak yang terkait dengan masalah pengelolaan perikanan pantai, dan mengajak mereka untuk berpartisipasi aktif menyusun strategi pemecahan masalah demi kepentingan bersama dalam jangka panjang.
Aktivitas analisa stakeholder telah berhasil membentuk organisasi masyarakat berupa Pengelola Sumberdaya Perikanan Berbasis Komunitas di Tegal, bayuwangi yang cukup dikenal dengan nama PSBK. Dari sisi kepentingan pemerintah telah dibentuk Komite Penasehat Perikanan Kabupaten/Kota (KPPK). Untuk mengkristalisasi keterwakilan masyarakat dalam kelompok tersebut tersebut, maka sebelum pengesahan pembentukannya, dilakukan validasi secara bertahap oleh Lembaga Swadaya Masyarakat dan telah berhasil disepakati dokumen Rencana Pengelolaan Perikanan Pantai (Management Plan) yang memuat daftar issu yang perlu dikelola, dan dokumen Rencana Aksi (Action Plan) yang merupakan rencana tidak lanjut pemecahan issu prioritas dalam prioritas dalam kerangka pengelolaan sumberdaya perikanan pantai secara berkelanjutan.
1.      Resolusi Konflik dan Penghentian Penangkapan Ikan yang Merusak
Rencana aksi mengenai resolusi konflik memuat kesepakatan para pihak yang terlibat dalam konflik. Kesepakatan tersebut dibangun melalui proses konsultasi dan negoisasi yang dilakukan secara dengan para pihak, difasilitasi oleh lembaga Swadaya Masyarakat, dihadiri oleh pihak keamanan (TNI-AL, Polri), tokoh masyarakat, PSBK, KKPK serta Dinas Perikanan Propinsi Propinsi dan Kabupaten/Kota.
 Kesepakatan tersebut memuat hal-hal yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh para pihak, termaksud rincian sangsi. Misalnya di Bengkalis terdapat kesepakatan pembagian daerah penangkapan yakni rawai dasar beroperasi di perairan 0-12 mil, sedangkan jaring batu hanya dapat beroperasi di perairan > 6 mil. Untuk menghindari terbelitnya rawai dasar pada jaring batu diperairan > 6 mil, maka nelayan rawai dasar mempunyai kewajiban melakukan pengamatan secara cermat, sebelum melakukan setting alat tangkap.
Implementasi dan penegakan kesepakatan tersebut di tingkat lapangan bertumpu pada komitmen nelayan (para pihak).  Bilamana terdapat indikasi pelanggaran oleh nelayan, maka pihak saksi (pihak yang melihat) hanya boleh mencatat identitas dan ciri-ciri kapal dan selanjutnya dilaporkan kepada PSBK untuk proses penyelesaian lebih lanjut. Untuk menghindari konflik fisik dilaut maka pihak saksi tidak diperkenankan melakukan tindakan fisik berupa pelanggaran atau pencegahan atau tindakan fisik lainnya. Dengan mekanisme tersebut, ternyata frekwensi konflik baik di Bengkalis maupun Tegal menurun secara signifikan bahkan ditenggarai issu konflik telah dapat diselesaikan oleh nelayan secara mandiri tanpa melibatkan pihak lain.
Kondisi demikian membawa dampak positip bagi kehidupan nelayan dan keluarganya berupa hilangnnya rasa takut pada saat mencari nafkah kehidupan (menangkap ikan), sehingga operasi penangkapan ikan tidak lagi harus dilakukan secara berkelompok. Rasa aman saat menangkap ikan juga berpengaruh terhadap jumlah dan kwalitas hasil tangkapan.
Dampak lain yang juga dirasakan yaitu berupa terjadinya perbaikan kondisi lingkungan perairan. Hal ini dibuktikan dengan berkembangbiaknya kembali benih lobster dan rumput laut secara alami di Teluk Ekas (Lombok Timur), sedangkan di Banyuwangi ditemukannya kembali ikan lemuru yang telah lama hilang dari teluk Pampang.
2.      Fish Sanctuary dan Terumbu Karang Buatan
Ikan adalah sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resource) baik secara alami maupun dengan rekayasa teknologi. Ikan tidak mampu menciptakan ruang dan waktu tersebut sekalipun hanya untuk mempertahankan hidupnya, tapi selalu tergantung pada kondisi ekosistem pada suatu kawasan uang sangat tergantung pada aktivitas manusia. Fish Sanctuary adalah suatu ruang atau kawasan habitat ikan yang disepakati untuk dilindungi bersama, sehingga kawasan ini dapat menopang kelestarian keanekaragaman hayati. Dalam hal penentuan lokasi fish sanctuary, identifikasi dilakukan secara akademis oleh para pakar perikanan termaksud kajian praktis dengan memadukan parameter ilmiah dan pengalaman nelayan serta advokasi Lembaga Swadaya Masyarakat. Proses ini memerlukan enerji dan waktu yang cukup signifikan mengingat hetergensi latar belakang berbagai pihak yang harus diajak berdiskusi dan bersepakat.
Fish sanctuary dideskripsikan denga baik dan jelas antara meliputi :
·         Fungsi dan manfaat
·         Luasan dan batas-batas serta tanda (marking)
·         Gugus tugas uyang bersedia secara sukarela mengamati dan melindungi kawasan tersebut
·         Hal-hal yang dapat dan tidak dilakukan
·         Monitoring dan Evaluasi
·         Rencana aksi pemulihan kenakeragaman hayati pada kawasan tersebut.
Rencana aksi pemulihan keanekaragaman hayati di kawsan tersebut dimulai denga terhabilitas terumbu karang yang berfungsi sebagai rumah ikan, mengingat tanpa rumahayang nyaman akan sulit rasanya ikan dapat berkembang biak dengan baik. Konstruksi terumbu karang buatan (TKB) terdiri dari beton reef ball berbentuk prisma.  Dampak dari pembangunan terumbu karang buatan telah menghasilkan peningkatan keanekaragaman hayati.
1.4. Rehabilitas dan Pengelolaan Hutan Bakau
Mangrove atau bakau adalah tumbuhan yang hidup antara daratan dan lautan di sepanjang pantai. Secara ekologis, hutan bakau berfungsi sebagai daerah pembesaran (nursery ground) berbagai jenis ikan, udang, kerang-kerangan dan spesies lainnya. Oleh karenanya, fungsi hutan bakau dalam memelihara kestabilan ekosistem pada suatu kawasan sangatlah penting, dan oleh karenanya pengelolaan hutan bakau perlu dilakukan secara baik agar dapat menopang kehidupan nelayan dan keluarganya.
Ironisnya penebangan hutan bakau berjalan tanpa aturan, seolah-olah tanaman tersebut tidak bermanfaat untuk kestabilan ekosistem yang sangat penting untuk kenyamanan hidup manusia. Tidak heran kalau di beberapa daerah telah terjadi abrasi sangat menghawatirkan seperti di Meskom, Muntai dan Pampang (Bengkalis) abrasi 5-10 meter pertahun. Hal ini telah menimbulkan kerugian yang cukup besar bagi masyarakat karena banyak rumah mereka yang telah hilang serta lahan usaha berupa tambak hilang ditelan abrasi.
Untuk memantapkan keberhasilan rehabilitas hutan bakau, tahapan kegiatan dilakukan dengan mengadopsi kaidah pendekatan partisipatif. Pengkajian dimulai dengan kegiatan indentifikasi kawasan bakau yang dilakukan bersama pihak Lembaga Swadaya Masyarakat. Hasil kajian disajikan dalam bentuk kawasan bakau yang dilakukan bersama pihak Lembaga Swadaya Masyarakat.
            Hasil kajian disajikan dalam bentuk pemetaan kondisi dalam bentuk pemetaan kondisi kawasan hutan bakau dengan klasifikasi baik, sedang dan rusak serta perlu segera mendapat penanganan. Pemetaan ini mencakup luas dan jenis bakau yang  direkomendasikan untuk ditanam kembali. Selanjutnya hasil pemetaan ini diserahkan  kepada instansi terkait melalui pemerintah daerah kabupaten/kota dan PSBK sebagai perwakilan masyarakat. Sebelum aksi tanam bakau dilaksanakan masyarakat diajak untuk membangun kesepakatan tertulis tentang perlindungan hutan bakau.
            Aktivitas rehabilitas hutan bakau ini telah menunjukan indikasi dampak positip berupa kembalinya kawanan burung laut ke kawasan bakau dan meningkatnya hasil tangkapan sero menjadi 8-10 kg/hari (bayuwangi). Di pihak lain, pemerintah daerah juga memberikan respon positip dalam bentuk menjadikan penanaman bakau sebagai salah satu issu pembangunan daerah, bahkan di Tegal telah dilaksanakan penanaman hutan bakau.









Daftar Pustaka

Basuki dan Djunaedi. 2002.  Perencanaan Pengembangan Kawasan Pesisir. Jurnal Teknologi Lingkungan, Vol 3, No 3, September 2002: 225-231
Dahuri, Rokhmin. dkk. 2008. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta.
Gumilar,Iwang. 2012. Partisipasi Masyarakat Pesisir Dalam Pengelolaan Ekosistem Hutan Mangrove Berkelanjutan Di Kabupaten Indramayu. Jurnal Akuatika Vol III No 2/September 2012 (198-211) ISSN 0853-2523
Rais, Jakub, dkk. 1987. Menata Ruang Laut Terpadu. PT Pradnya Paramita. Jakarta. 69-70p  
Riyadi. 2008. Kebijakan Wilayah Pembangunan Pesisir Sebagai Alternatif Pembangunan Indoensia Masa Depan. http:www.bappenas.go.id/get-file-server/node/3007/
Supriharyono. 2009. Konservasi Ekosistem Sumberday Hayati. Pustaka pelajar. Yogyakarta. 228-229p
Sularso, Aji. dkk. 2003. Meraih Masa Depan “Biru Lautku Sejahtera Rakyatku”. Proyek COFISH. Jakarta. 14-27p